Timur Tengah Panas, Harga Minyak Setuh Rekor Kenaikan Tertinggi

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
Rabu, 09/10/2024 08:20 WIB
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah mengalami lonjakan signifikan pekan lalu, naik sebesar 10% menjadi $78 per barel, yang merupakan kenaikan mingguan terbesar dalam hampir dua tahun. Kenaikan ini dipicu oleh meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Iran, yang mengguncang pasar minyak global.

Melansir The Economist, Rabu (9/10/2024), sejak serangan Hamas terhadap Israel setahun lalu, kekhawatiran terbesar di pasar minyak adalah eskalasi konflik yang melibatkan Iran. Pasalnya, negara ini merupakan produsen minyak mentah terbesar ketujuh dunia.

Meskipun kedua negara sebelumnya tampak menghindari konflik besar, situasi berubah setelah Iran menembakkan sekitar 200 misil ke Israel sebagai tanggapan atas serangan Israel terhadap Hizbullah dan proxy Iran lainnya.


Pasar minyak pun bereaksi cepat terhadap ketidakpastian ini. Pekan lalu harga minyak melonjak sebesar 10%, dengan harga mencapai $78 per barel. Pada 7 Oktober, harga minyak kembali naik, meskipun kemudian berfluktuasi tajam di tengah ketidakpastian respons Israel.

Jika Israel membatasi serangannya hanya pada target militer seperti situs peluncuran misil, dan Iran merespons secara moderat untuk meredakan situasi, maka kenaikan harga minyak mungkin akan berkurang. Namun, jika Israel memilih untuk meningkatkan serangan dengan menargetkan infrastruktur sipil Iran, seperti fasilitas minyak dan gas atau situs pengayaan nuklir, harga minyak bisa terus meningkat secara signifikan.

Salah satu target potensial bagi Israel adalah kilang Abadan yang berusia seabad, yang menyuplai 13% kebutuhan bensin domestik Iran. Meskipun Iran dapat mengimbangi kekurangan bahan bakar dengan menyelundupkan lebih banyak minyak dari Kurdistan Irak, dampaknya tetap akan terasa di dalam negeri, dan bahkan dapat meningkatkan pasokan minyak mentah yang tidak dimurnikan untuk ekspor.

Jika Israel memutuskan untuk menghantam terminal minyak di Pulau Kharg di Teluk Persia-yang menangani 90% dari ekspor minyak mentah Iran-atau bahkan langsung menyerang ladang minyaknya, dampak diplomatiknya akan sangat besar. Administrasi Biden mungkin akan terganggu oleh risiko lonjakan harga minyak kurang dari sebulan sebelum pemilihan presiden Amerika, sementara China, yang merupakan tujuan utama ekspor minyak Iran, juga akan kecewa.

Meskipun demikian, Israel mungkin masih menilai risiko tersebut layak untuk diambil. Serangan yang berhasil akan segera mengurangi pasokan minyak internasional, mengingat Iran mengekspor 2 juta barel per hari pada bulan lalu, yang setara dengan hampir 2% pasokan minyak dunia.

Namun, dampak global kemungkinan besar akan tetap terkendali. Tidak seperti saat invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, ketika dunia memproduksi minyak pada kapasitas penuh dan permintaan melonjak setelah pandemi, saat ini pasokan minyak melimpah dan permintaan cenderung lesu. Negara-negara OPEC+ memiliki kapasitas cadangan lebih dari 5 juta barel per hari, cukup untuk menutupi kekurangan minyak Iran jika diperlukan.

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang memiliki lebih dari 4 juta barel per hari dalam cadangan, kemungkinan tidak akan menunggu lama untuk meningkatkan produksi. Bahkan, pekan lalu OPEC+ telah mengonfirmasi rencana untuk menaikkan produksi sebesar 180.000 barel per hari setiap bulan mulai Desember, sebuah langkah yang dapat mempercepat pemulihan pasokan minyak global.

Selain itu, produksi minyak di Amerika Serikat, Kanada, Guyana, dan Brasil terus meningkat. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan produksi minyak non-OPEC akan tumbuh sebesar 1,5 juta barel per hari tahun depan, yang cukup untuk mengimbangi peningkatan permintaan global yang diproyeksikan.

Namun, ketegangan yang terus meningkat di Timur Tengah dapat memicu skenario yang lebih serius. Jika Iran memutuskan untuk menargetkan ladang minyak negara-negara tetangganya yang dianggap mendukung Israel, atau bahkan menutup Selat Hormuz-yang menjadi jalur bagi 30% minyak mentah dunia dan 20% gas alam cair-dampaknya terhadap pasar minyak global bisa sangat menghancurkan.

Meskipun langkah seperti itu akan merugikan Iran secara ekonomi, karena mereka tidak akan bisa mengekspor minyak atau mengimpor barang penting, ancaman ini tetap ada. Jika terjadi, negara-negara seperti Amerika Serikat dan China kemungkinan akan mengirim angkatan laut mereka untuk membuka kembali Selat Hormuz, tetapi harga minyak mungkin akan mencapai puncaknya sebelum permintaan mulai turun.

Pada akhirnya, meskipun skenario terburuk belum terjadi, kekhawatiran di pasar minyak sudah mulai tercermin dalam harga saat ini. Pedagang yang sebelumnya bertaruh pada penurunan harga minyak kini mulai membalikkan posisi mereka. Meskipun harga minyak pekan ini naik di atas $80 per barel, masih ada banyak faktor yang harus terjadi sebelum harga mencapai tiga digit seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

Konflik di Timur Tengah, yang telah berlangsung selama setahun, terus membawa ketidakpastian besar bagi pasar energi global. Namun, untuk harga minyak mencapai lebih dari $100 per barel lagi, situasi di kawasan tersebut harus semakin memburuk dengan cepat.


(mkh/mkh)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Harga Minyak Meroket 10% Pasca Israel Serang Iran