
Dibunuh Israel, Ini Kisah Korban Tewas Tertua dan Termuda di Gaza

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian kesehatan Gaza telah mengidentifikasi 34.344 warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel di wilayah tersebut. Kementerian itu menerbitkan daftar nama, usia, jenis kelamin, serta nomor identitas yang mencakup lebih dari 80% warga Palestina yang tewas dalam perang sejauh ini.
Laporan The Guardian, yang dikutip Rabu (9/10/2024), menemukan daftar korban tertua dan termuda. Yang tertua adalah seorang pria berusia 101 tahun bernama Ahmed al-Tahrawi, sementara yang termuda adalah Waad Walid Samir al-Sabah, seorang bayi baru lahir yang hidupnya hanya berlangsung selama dua jam.
Berikut kisahnya, seperti diceritakan oleh sanak keluarga mereka yang masih hidup.
Ahmed al-Tahrawi
Ahmed al-Tahrawi lahir pada tahun 1922 di al-Masmiyya. Pekerjaan pertamanya adalah sebagai juru masak di kamp tentara Inggris di dekat desanya, saat rumahnya menjadi bagian dari Mandat Palestina dan diperintah dari London.
Semasa hidupnya, Tahrawi telah merasakan peristiwa Nakba, atau bencana, tahun 1948, di mana sekitar 700.000 warga Palestina diusir dari tanah air mereka setelah berdirinya Israel.
Tahrawi saat itu berusia 26 tahun dan merupakan ayah dari dua putra yang masih kecil. Cucunya, Abd al-Rahman al-Tahrawi, bercerita bahwa keluarga Tahrawi saat itu meninggalkan kehidupan lama mereka dengan berjalan kaki, hanya membawa kunci rumah desa yang tidak akan pernah mereka lihat lagi.
Anak-anak lelaki Tahrawi tidak selamat dari pelarian ke pengasingan. Di Bureij, sebuah kamp pengungsi di Gaza, Ahmed al-Tahrawi dan istrinya memulai lagi, membangun kembali keluarga, rumah, dan kehidupan mereka dari awal. Kunci rumah Masmiyya selalu tergantung di dinding mereka, di mana pun mereka tinggal, sebagai pengingat akan semua yang telah mereka hilangkan.
Tahrawi bekerja sebagai penjahit lalu mengelola toko kecil, dan membesarkan beberapa generasi keluarga besar yang penuh kasih. Ia hidup cukup lama untuk bertemu dengan cicit-cicitnya, dan tetap sehat secara mental dan fisik hingga akhir hayatnya.
Dalam sebuah video keluarga yang direkam beberapa bulan sebelum perang, saat ia berusia 100 tahun, ia mencoba belajar cara mengatakan "Aku mencintaimu" dalam bahasa Inggris kepada istrinya. Saat ia menirukan kata-kata yang tidak dikenalnya sambil tersenyum, ruangan itu dipenuhi tawa. Kunci rumah tua itu tergantung di dinding di belakangnya.
"Ia akan segera meninggalkan kita, tetapi ia tidak pergi dengan cara yang biasa," kata cucunya.
Rumah satu lantai Tahrawi di Bureij memiliki atap asbes bergelombang, jadi pada awal perang ia pindah dengan salah satu putrinya, berharap atap beton putrinya akan memberikan perlindungan lebih dari serangan udara Israel, tetapi pada tanggal 23 Oktober, rumah putrinya dibom.
Dua belas orang tewas seketika dan delapan orang terluka termasuk Tahrawi. Ia dibawa ke rumah sakit dengan pendarahan dalam, tetapi karena bangsal kewalahan dan peralatan medis terbatas, para dokter memprioritaskan anak-anak muda.
Ia meninggal seminggu kemudian, meninggalkan keluarganya yang kehilangan. "Kakek saya tidak tergabung dalam organisasi militer mana pun, dan ia tidak bersalah atas kejahatan apa pun," kata cucunya. "Ia hanya seorang lelaki tua yang tidak dapat menyakiti siapa pun."
Pada awal perang di Gaza, Taharwi memiliki 126 keturunan yang masih hidup, meskipun hanya 90 yang selamat tahun ini. Ketika ia meninggal, cucu tertuanya berusia 53 tahun, dan cicit buyut tertuanya berusia lima tahun.
Kini yang tersisa dari Tahrawi hanya kenangan yang memudar, serta nama persimpangan jalan Israel sekitar setengah jam perjalanan dari perbatasan utara Gaza.
Waad Walid Samir al-Sabah
Waad belum lahir ketika serangan udara Israel mengubur ibunya, Salam al-Sabah, di bawah longsoran puing. Sasaran serangan udara pada tanggal 15 Februari 2024 adalah rumah tetangga, tetapi bom itu sangat besar sehingga merobohkan sebagian rumah keluarga Sabah.
Tim penyelamat bergegas ke lokasi tetapi harus bekerja tanpa peralatan berat sehingga butuh waktu lebih dari satu jam untuk membebaskan Sabah, yang sedang hamil sembilan bulan. Sebagai ibu dari empat putra, ia berharap dapat bertemu putri pertamanya dalam beberapa hari.
Ia kemudian dibawa ke rumah sakit Kamal Adwan dan dirawat oleh pamannya Eid Sabah, yang merupakan direktur keperawatan di rumah sakit tersebut/ Ia sedang bertugas ketika kerabatnya dibawa masuk, begitu tertutup debu dan jelaga dari ledakan sehingga ia tidak mengenali mereka pada awalnya.
"Saya baru menyadari siapa mereka setelah beberapa dari mereka mulai meneriakkan nama saya. Saya sempat membeku karena syok, tetapi kemudian saya cukup pulih untuk mulai memeriksa mereka," katanya.
Sudah terlambat bagi keponakannya, tetapi bayi yang belum lahir dalam kandungannya masih berjuang untuk hidup, jadi dokter melakukan operasi caesar darurat dan segera membawa Waad ke ruang perawatan intensif. Dia bertahan hidup selama dua jam.
"Yang paling membuat saya sedih adalah saat akta kelahiran dan akta kematian Waad dirilis pada saat yang bersamaan," kata Eid Sabah. Ibu dan anak itu bisa diselamatkan jika mereka mendapat perawatan lebih cepat, imbuhnya.
Mereka dibungkus dengan kain kafan tunggal, dengan Salam menggendong Waad, dan dimakamkan di liang lahat yang sama di samping putra Salam yang berusia 11 tahun, Asid.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sudah Sepakat Gencatan Senjata, Israel Masih Sibuk Bombardir Gaza