Ini Alasan Bursa Saham Jepang Tahan Banting Saat Ekonominya Lesu

Riset, CNBC Indonesia
Rabu, 21/02/2024 15:00 WIB
Foto: Bursa Jepang (Nikkei). (AP Photo/Koji Sasahara)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Jepang terlihat masih cukup kuat, meski perekonomiannya sedang lesu dan ekonomi Jepang kini tak lagi menjadi negara dengan ekonomi terkuat ketiga di dunia.

Pada perdagangan Rabu (21/2/2024) hari ini, dua indeks saham Jepang yakni Nikkei 225 dan Topix terpantau melemah. Nikkei 225 melemah 0,28% ke 38.258, sedangkan Topix terkoreksi 0,2% menjadi 2.627,15.

Meski keduanya melemah pada hari ini, tetapi keduanya masih berada di level psikologis tertinggi sepanjang masanya hingga hari ini. Nikkei masih berada di level psikologis 38.000, menjadi level psikologis tertinggi sejak lebih dari 30 tahun terakhir. Sementara untuk Topix berada di level psikologis 2.600, menjadi yang tertinggi sejak 30 tahun terakhir.


Beberapa analis pasar percaya bahwa tahun 2024 bisa menjadi tahun dimana pasar saham Jepang akhirnya mencapai puncaknya terakhir pada 1989 yaitu di 38,915.87.

Hal ini karena adanya reformasi tata kelola perusahaan baru-baru ini yang didorong oleh Bursa Efek Tokyo telah menyebabkan perusahaan-perusahaan Jepang berupaya meningkatkan keuntungan pemegang saham melalui pembelian kembali saham dan pembayaran dividen yang lebih tinggi.

Pelemahan yen, yang berada pada level terendah sejak tahun 1990-an, telah meningkatkan keuntungan perusahaan dan membuat saham-saham Jepang, yang sudah murah menurut standar internasional, memiliki valuasi yang lebih baik.

Di bawah dorongan "kapitalisme baru" Perdana Menteri Fumio Kishida, Tokyo juga berupaya mendorong peralihan dari menabung ke investasi, dengan meluncurkan kembali program Rekening Tabungan Perorangan Nippon (NISA) dengan batas investasi tahunan yang lebih tinggi dan periode pembebasan pajak yang diperpanjang.

Ada juga tanda-tanda bahwa perekonomian Jepang akhirnya mulai keluar dari spiral deflasi yang telah berlangsung selama puluhan tahun, dengan para pekerja tahun lalu mengalami kenaikan upah terbesar sejak awal tahun 1990-an.

Sementara menurut Ryota Abe, ekonom di pasar global dan unit treasury Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), mengatakan ekspektasi bahwa pertumbuhan upah akan terus meningkat telah menjadi pendorong terbesar dari beberapa pendorong reli pasar saham.

"Peristiwa baru-baru ini menunjukkan bahwa apa yang paling banyak berubah dalam masyarakat adalah para pemimpin bisnis di Jepang mulai mempertimbangkan dengan lebih serius perlunya pertumbuhan upah yang konstan mengingat situasi inflasi dan perusahaan," kata Abe, dikutip dari Al Jazeera.

Adapun menurut Martin Schulz, peneliti senior di Fujitsu Research Institute, mengatakan pasar saham Jepang memiliki potensi untuk terus memberikan keuntungan besar karena para pemimpin perusahaan mendorong produktivitas yang lebih besar dan pembayaran yang lebih tinggi kepada pemegang saham.

"Meskipun sisi positifnya terbatas dalam pertumbuhan ekonomi yang lambat, perusahaan-perusahaan terkemuka yang memperoleh keuntungan dari tren jangka panjang, seperti digitalisasi, energi terbarukan, dan integrasi ekonomi Asia, masih tertinggal dibandingkan rekan-rekan mereka dalam penilaian," kata Schulz, dilansir dari Al Jazeera.

Sebelumnya pada kuartal IV-2023, Jepang yang pernah menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, melaporkan kontraksi selama dua kuartal berturut-turut. Ekonomi turun 0,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), setelah melaporkan kontraksi atau minus (-) 3,3% pada kuartal III-2023.

Laporan produk domestik bruto (PDB) terbaru itu jauh meleset dari perkiraan pertumbuhan 1,4% dalam jajak pendapat para ekonom Reuters. Secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq), PDB turun 0,1%, dibandingkan dengan perkiraan kenaikan 0,3% dalam jajak pendapat Reuters.

Sepanjang tahun 2023, PDB nominal Jepang tumbuh 5,7% dibandingkan tahun 2023. Ini sekitar 591,48 triliun yen (Rp 61.673 triliun).

CNBC INDONESIA RESEARCH

market@cnbcindonesia.com


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Lama Waktu Perizinan & Biaya Logistik, PR RI Perkuat Daya Saing