
BBHI Ngacir 8,19% & Pimpin Saham Bank Digital, Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten bank digital milik CT Corp yakni PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) terpantau melonjak pada perdagangan sesi I Senin (10/7/2023), setelah pada perdagangan akhir pekan lalun sempat ambles.
Hingga pukul 12:00 WIB, saham BBHI melejit 8,19% ke posisi Rp 1.850/unit. Saham BBHI sempat diperdagangkan di kisaran harga Rp 1.710 - Rp 1.880 per unit.
Saham BBHI sudah ditransaksikan sebanyak 2.919 kali dengan volume sebesar 7,77 juta lembar saham dan nilai transaksinya sudah mencapai Rp 14,14 miliar. Adapun kapitalisasi pasarnya saat ini mencapai Rp 40,2 triliun.
Hingga pukul 12:00 WIB, di order offer atau jual, terdapat 457 lot antrian di harga Rp 1.850/unit atau sekitar Rp 84,5 juta. Sedangkan antrian jual terbanyak berada di harga Rp 1.870/unit yang sebanyak 2.878 lot atau sekitar Rp 538,2 juta.
Sementara di order bid atau beli, terdapat 50 lot antrian di harga Rp 1.840/unit atau sekitar Rp 7,4 juta. Adapun antrian beli terbanyak berada di harga Rp 1.800/unit, yang mencapai 2.359 lot atau sekitar Rp 424,6 juta.
Dalam sebulan terakhir, saham BBHI sudah melesat hingga 65,18%. Sedangkan sepanjang tahun ini, saham BBHI melesat 4,82%.
Saham BBHI yang terpantau bergairah mengikuti pergerakan mayoritas saham bank digital yang juga menguat, karena optimismpe pasar bahwa inflasi Amerika Serikat (AS) bakal terus melandai.
Prediksi pasar akan melandainya kembali inflasi AS turut menjadi sentimen positif karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal merubah sikapnya menjadi sedikit dovish jika inflasi terus menurun. Tetapi, The Fed yang bakal lebih dovish sejatinya menjadi katalis negatif bagi saham-saham perbankan.
Konsensus ekonom menyebut, inflasi konsumen (consumer price index/CPI) tahunan AS per Juni akan turun menjadi 3,1%, dari bulan sebelumnya 4%, dan menandai laju tahunan paling lambat sejak Maret 2021.
Setali tiga uang, CPI inti tahunan juga diperkirakan akan melandai ke 5% dari bulan sebelumnya 5,3%.
Sementara PPI, yang merupakan inflasi dari sudut pandang produsen dan grosir, diproyeksikan naik 0,2% bulan lalu, setelah turun 0,3% di Mei.
PPI kemungkinan naik hanya 0,2% dari posisi tahun lalu, yang akan menandai kenaikan tahunan terkecil sejak September 2020, dan dibandingkan dengan puncak 11,7% pada Maret tahun lalu.
Ketika inflasi AS terus melandai dan semakin mendekati target The Fed di 2%, maka The Fed berpeluang merubah sikapnya menjadi sedikit lebih dovish, jika The Fed hanya melihat inflasi saja.
Namun, jika The Fed melihat dari sisi data tenaga kerja yang masih cukup kuat, maka bisa saja The Fed belum akan merubah sikapnya, meski mereka hanya akan menahan suku bunga acuannya.
Perubahan sikap The Fed ini tentunya akan ditunggu oleh sektor teknologi, termasuk bank digital, karena dengan suku bunga yang semakin longgar dapat menopang kembali kedua sektor tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gokil! Dalam Sepekan, Saham BBHI Melejit Nyaris 48%