Dampak Redenominasi Rp1.000 Jadi Rp1 ke Saham, Ini Kata BEI

Romys Binekasri, CNBC Indonesia
10 July 2023 12:35
Infografis/ Wacana penyederhanaan nilai rupiah muncul lagi/Aristya Rahadian
Foto: Infografis/ Wacana penyederhanaan nilai rupiah muncul lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Redenominasi rupiah kembali muncul di permukaan. Jika hal itu diterapkan, maka akan mengubah transaksi dan kebiasaan di dalam masyarakat. Redenominasi itu sendiri merupakan penyederhanaan nilai rupiah tanpa mengurangi nilai tukar atau daya belinya dilakukan dalam bentuk penggantian tiga angka nol.

Redenominasi rupiah tentunya akan sangat terasa pada industri pasar modal. Pasalnya, harga saham emiten-emiten RI banyak yang di bawah Rp 1.000 per sahamnya.

Namun, Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Jeffrey Hendrik merespon, sebagai regulator pihaknya masih terus memantau perkembangan tersebut.

"Kami mengikuti saja dulu pemberitaannya," ujarnya kepada wartawan, Senin (10/7).

Jadi nanti nominal uang akan berganti dari Rp 100.000 menjadi Rp 100, Rp 50.000 menjadi Rp 50, Rp 20.000 menjadi Rp 20, Rp 10.000 menjadi Rp 10. Tak terkecuali uang dengan Rp 2.000 dan Rp 1.000 yang akan berubah menjadi Rp 2 dan Rp 1.

Adanya redenominasi ini juga dapat kembali menghadirkan uang pecahan sen. Pecahan sen sendiri adalah uang pecahan yang nilainya di bawah 1. Jadi bisa jadi uang yang saat ini bernilai Rp 500 atau Rp 200 atau Rp 100 setelah redenominasi menjadi 5 sen, 2 sen, dan 1 sen.

Untuk nilai yang tidak genap akan terjadi pembulatan bisa menjadi Rp 73,60 atau tujuh puluh tiga rupiah enam puluh sen.

Mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Tito Sulistio pernah mengatakan maraknya saham-saham dengan harga di bawah Rp 50 per saham cenderung menjadi tidak efisien.

"Kalau saham di bawah gocap, tiap ada transaksi di suspense dan sesudah redenominasi harganya dibawah setengah sen rupiah??!! ampunn.. dan Richard Posner menulis buku menganai "the economic analysis of law":.. jangan cost lebih mahal dari transaksinya lah," sebutnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Mantan bos Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia), Hasan Zein Mahmud yang berpendapat bahwa redenominasi rupiah tidak akan banyak memberikan manfaat selain penyajian angka yang lebih singkat dalam laporan keuangan. Pendapat ini masih sama dengan pendapatnya di tahun 2012, ketika isu ini merebak.

"Redenominasi adalah operasi plastik untuk mempercantik wajah. Redenominasi itu polesan. Redenominasi itu semu," ujarnya di laman Facebook pribadinya, Minggu (10/7/2023).

Mantan Bos Bursa itu mengatakan bahwa jika fundamental ekonomi kuat, maka mata uang pasti menguat dan tidak terdampak oleh pemangkasan tiga digit mata uang rupiah.

Hasan juga mengatakan bahwa redenominasi akan membuat rumit pasar modal. Dia memberikan contoh kerumitan yang paling ringan di bursa ketika terjadi fraksi harga saham atau harga yang dapat ditawar investor.

Contoh yang paling ringan, penulisan fraksi saham Rp 1 apakah itu ditulis Rp 0,001 atau 0,1 sen, tidak akan terpengaruh oleh perubahan lot size. Terlebih, bid dan offer saham dinyatakan dalam fraksi harga per saham.

"Mau pakai fraksi harga Rp 1 pasca-redenominasi? Hahahahaha, harga Rp 50 (lima sen), fraksi harga Rp 1000?" tulis Hasan.

Kemudian, ia mencotohkan bila semua saham di kandang gocap wajib reverse split. Sebut aja 40 saham gocap lama menjadi satu saham baru.

"Harga teoritisnya Rp 2 (sangat boleh jadi lebih rendah. Empiris membuktikan pada reverse split setelah beberapa gocap digabung jadi satu harga kembali ke gocap lagi). Katakanlah sukses bertahan di Rp 2. Fraksi harga Rp 1 untuk harga saham Rp 2? Tralala. Trilili," lanjutnya.

Di Indonesia, pemerintah sudah memasukkan redenominasi rupiah ke dalam rencana strategis Kementerian Keuangan periode 2020-2024. Namun rencana itu terhambat pandemi dan belum kunjung membuahkan hasil.

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengingatkan untuk melakukan redenominasi harus dengan memperhatikan tiga faktor berbagai situasi perekonomian di tanah air. Faktor tersebut yaitu kondisi makro ekonomi yang stabil, stabilitas sistem keuangan dan moneter yang stabil, serta kondisi sosial dan politik yang kondusif.

"Timing-timing itu yang menjadi pertimbangan utama. Ekonomi kita kan sudah bagus, tapi ada baiknya memberi momen yang tepat," jelas Perry, dikutip Senin (10/7/2023).

Sayangnya, kata Perry, saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi. Hal ini dikarenakan adanya ketidakpastian global yang dikhawatirkan berdampak ke Indonesia.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Rupiah Mau di-Redenominasi, Ekonom: Belum Urgent!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular