Newsletter

Awas, The Fed Akan Bersabda! Pasar Keuangan RI Rawan Longsor

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Rabu, 21/06/2023 06:07 WIB
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)
  • Pasar keuangan Tanah Air kembali lesu pada perdagangan Selasa kemarin
  • Saham energi menjadi pemberat terbesar Wall Street kemarin
  • Investor cenderung bertahan menanti pidato Ketua The Fed Powell di hadapan Kongres hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali merana pada perdagangan Selasa (20/6/2023), di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan pasar obligasi pemerintah RI kembali lesu kemarin.

Sentimen pasar yang cenderung masih sepi membuat pasar keuangan RI lagi-lagi kurang bergairah kemarin. Investor juga cenderung wait and see.
Selengkapnya mengenai sentimen pasar keuangan global dan dalam negeri hari ini bisa dibaca pada halaman 3 di artikel ini.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG pada perdagangan kemarin ditutup melemah 0,38% ke posisi 6.660,455. IHSG masih diperdagangkan di level psikologis 6.600 hingga kemarin.


Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin terbilang masih sepi yakni mencapai sekitaran Rp 8,2 triliun, dengan melibatkan 16 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 197 saham menguat, 338 saham melemah, dan 213 saham lainnya stagnan.

Investor asing masih mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 409,63 miliar di seluruh pasar pada perdagangan kemarin.
Di kawasan Asia-Pasifik, secara mayoritas juga melemah kemarin. Kecuali indeks ASX 200 Australia, S&P BSE Sensex India, Nikkei 225 Jepang, dan FTSE KLSE Malaysia yang terpantau menguat.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Selasa kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin kembali ditutup melemah terhadap dolar AS, meski pelemahannya cenderung tipis.

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di Rp 14.995/US$, melemah tipis 0,03% di pasar spot. Rupiah pun sempat menyentuh kisaran level Rp 15.000/US$ kemarin.

Rupiah tidak sendirian, mayoritas mata uang Asia juga gagal melawan The Greenback kemarin. Hanya yen Jepang dan peso Filipina yang mampu melawan The Greenback.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Selasa kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya kembali melemah, menandakan bahwa imbal hasil (yield) kembali naik dan tandanya dilepas oleh investor.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 3,5 basis poin (bp) menjadi 6,345%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Faktor eksternal yang lagi-lagi dipenuhi ketidakpastian membuat pasar keuangan RI kembali merana, terutama rupiah.

Ketidakpasatian global tercermin dari perlambatan perekonomian negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan China. Salah satu faktor perlambatan ekonomi tersebut adalah tingginya suku bunga untuk menahan laju inflasi.

Permasalahan ini memaksa negara-negara tersebut mengalami krisis likuiditas, sehingga langkah antisipasi adalah menarik dana investasi aset keuangan di emerging market, seperti Indonesia.
Keluarnya dana asing mengurangi permintaan rupiah yang menyebabkan turut mendorong pelemahan mata uang garuda.

Bahkan, kenaikan suku bunga masih ada potensi berlanjut dengan pernyataan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mengindikasikan masih akan menaikkan sebanyak dua kali sepanjang tahun ini.

Berbeda dengan The Fed, bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) kemarin memangkas suku bunga untuk dua jenis bunga pinjaman. Ini adalah kali pertama PBoC memangkas suku bunga sejak Agustus 2022.

Bunga pinjaman atau loan prime rate (LPR) tenor 1 tahun dipangkas 10 bp menjadi 3,55% sementara untuk 5 tahun dipangkas 10 bp menjadi 4,2%. Pemangkasan suku bunga ini merupakan upaya China untuk mempercepat pemulihan ekonomi mereka.

Tiongkok belum mampu menggerakkan ekonomi mereka dengan cepat meskipun Negara Tirai Bambu sudah membuka perbatasan sejak Januari 2023.


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Modal Pasar Saham & SBN Tarik Investor Saat Iran-Israel Panas

Pages