
Fenomena Global 'Buang Dolar' Makin Kencang, RI Gimana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen melihat fenomena 'buang dolar' alias dedolarisasi kian marak. Hal ini ditandai dengan menurunnya cadangan dolar global.
Kendati demikian, Yellen melihat belum ada alternatif mata uang yang sepenuhnya dapat menggantikan dolar AS, bahkan yuan sekalipun.
"Tetapi dolar memainkan perannya dalam sistem keuangan dunia untuk alasan yang sangat bagus yang tidak dapat ditiru oleh negara lain, termasuk China," katanya, dikutip dari Business Insider, Selasa (20/6/2023).
"Kita (AS) memiliki pasar keuangan terbuka yang likuid, aturan hukum yang kuat dan tidak adanya kontrol modal yang tidak dapat ditiru oleh negara mana pun. Tidak akan mudah bagi negara mana pun untuk menemukan cara untuk mendapatkan dolar," papar Yellen.
Status cadangan dolar AS telah mengalami erosi bertahap selama dua dekade, dan mengalami penurunan tajam pada tahun 2022 meskipun kekuatannya dalam perdagangan internasional tetap tidak tertandingi, ungkap laporan Eurizon SLJ Asset Management pada bulan April lalu.
Data Currency Composition of Official Foreign Exchange Reserve (COVER) dari IMF, nilai dolar AS dalam cadangan devisa global memang mengalami penurunan drastis. Pada kuartal IV-2021, nilainya mencapai US$ 7.085,01 miliar, sementara pada kuartal IV-2022 sebesar US$ 6.471,28 miliar.
Secara pangsa, pada 2021 sebesar 58,8%, sedangkan pada 2022 turun menjadi 58,4%. Pangsa tersebut menjadi yang terendah dalam 27 tahun terakhir. Pada awal 200an, pangsa dolar AS di cadangan devisa global masih di atas 70%.
Bank sentral di dunia saat ini lebih memilih meningkatkan cadangan emas mereka ketimbang menyimpan dolar.
Sejak perang Rusia-Ukraina pecah pada Februari 2022 lalu, para bank sentral banyak memborong emas. Di sisi lain, porsi dolar dalam cadangan devisa mereka terus menurun. Ternyata salah satu alasannya adalah mereka tidak mau dikontrol oleh pemerintah AS. Hal tersebut diungkapkan oleh Philip Dielh mantan direktur Mint AS, salah satu biro di Departemen Keuangan AS.
"Banyak dari bank sentral melakukan diversifikasi portofolio mereka sehingga tidak bisa dikontrol oleh pemerintah AS dalam membuat kebijakan," kata Dielh dalam sebuah diskusi di acara In Conversation, Money Reserve, Selasa (20/6/2023).
"Mereka (bank sentral) melakukan diversifikasi. mereka memiliki banyak aset yang berbeda kebanyakan dalam bentuk dolar AS, dan mereka ingin mendiversifikasi aset mereka karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dengan dolar AS, tidak ada garansi dolar AS bisa mempertahankan nilainya," sambungnya.
Berdasarkan laporan World Gold Council (WGC), bank sentral di berbagai negara memborong 228,4 ton emas pada kuartal I-2023. Pembelian tersebut melesat 176% dibandingkan kuartal I tahun lalu, saat perang Rusia-Ukraina baru meletus pada Februari 2022.
Adapun, pembelian tersebut juga menjadi rekor terbesar di kuartal I, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Lantas, bagaimana dedolarisasi di Indonesia?
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo telah menegaskan komitmen bank sentral untuk meneruskan aksi buang dolar Amerika Serikat atau dedolarisasi guna memperkuat stabilitas rupiah.
BI pun berencana untuk terus memperluas kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan hingga investasi dengan otoritas moneter di banyak negara melalui transaksi menggunakan mata uang lokal atau local currency transaction (LCT).
"Kita berupaya terus memperluas kerja sama peggunana LCT dengan negara ASEAN maupun mitra dagang utama lainnya, termasuk Jepang dan Tiongkok," ujarnya di Komisi XI, dikutip Selasa (20/6/2023).
Dia melanjutkan LCT saat ini sudah berjalan dengan beberapa negara, di antaranya Thailand, Malaysia, Singapura, serta Jepang, dan China. Adapun, mitra terbaru adalah Korea Selatan.
Sejauh ini, untuk mitra dagang Korea Selatan, Perry mengungkapkan laporan transaksi LCT di Negeri Ginseng ini telah mencapai US$ 4,1 miliar untuk mitra dagang RI di atas sepanjang 2022.
"Totalnya pada 2022 lalu mencapai US$ 4,1 miliar. Ini mengunakan local currency jadi tidak lagi melalui dolar AS tapi dengan mata uang mitra dagang," ujarnya.
Menurut Perry, capaian ini meningkat dibandingkan periode 2021. Peningkatan mencapai hampir dua kali lipat, dibandingkan tahun 2021 sebesar Rp 2,5 miliar. Ini menunjukkan bahwa minat terhadap LCT tumbuh dengan baik.
Ke depan, dia menegaskan penguatan transaksi mata uang lokal akan dilakukan dengan negara-negara kawasan ASEAN dan mitra dagang lainnya, termasuk India.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dunia Buang Dolar AS, Ekonomi Amerika Serikat Terancam?
