
Runyam! Pabrik di China "Mati Suri", Ekonomi AS Tak Jelas

Wall Street yang berakhir beragam dan mayoritas di zona merah pada perdagangan kemarin bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Selain itu, sentimen pasar utama masih diselimuti oleh implikasi atas pengumuman sejumlah data ekonomi.
Tentu saja, soal suku bunga The Fed masih saja menjadi topik utama yang dicermati pasar. Inflasi yang masih mendarah daging membuat pelaku pasar pesimis bahwa The Fed bakal menurunkan suku bunganya pada pertemuan mendatang.
Ekonomi AS masih saja mengalami tekanan. Setelah lolos dari default alias gagal bayar, Negeri Paman Sam dihadapkan dengan inflasi tinggi. Kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih kuat dengan prospek gaji yang kompetitif.
Namun, gaji yang kompetitif tentu berhubungan dengan daya beli masyarakat yang akan tetap terjaga, ini juga menjadi indikasi bahwa ekonomi AS masih cukup bertahan di tengah risiko resesi yang tinggi.
Dari sisi inflasi Amerika Serikat (AS) pada April 2023 tercatat sebesar 4,9% secara tahunan (year-on-year/YoY) atau berada di bawah ekspektasi. Indeks harga konsumen itu pun menjadi yang terendah sejak April 2021.
Perlu diketahui inflasi AS telah turun 10 bulan berturut-turut sejak mencapai 9,1% pada Juni 2022. Namun tetap saja penurunan inflasi saat ini sepertinya belum membuat puas hati The Fed karena target penurunan inflasi adalah 2%. Tentu saja, angka ini masih jauh dari target.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat probabilitas suku bunga bunga dinaikkan hanya 20%, sisanya yakin akan tetap sebesar 5% - 5,25%. Sehingga jika The Fed kembali menaikkan suku bunga, pasar finansial dunia tentunya bisa gonjang-ganjing lagi.
Kalau ini terjadi, maka menjadi kenaikan suku bunga The Fed selama 11 bulan berturut-turut dan menjadi yang tertinggi sejak 2007.
Keputusan ini dilakukan the Fed sebagai langkah menjinakkan inflasi yang tinggi di tengah kondisi pasar tenaga kerja yang ketat dan sektor perbankan yang bergejolak.
Suku bunga acuan yang tinggi menjadi satu tantangan prospek ekonomi AS yang potensi mengalami resesi tahun ini. Secara kuartalan, perlambatan ekonomi sudah mulai terlihat dari pertumbuhan ekonomi AS per kuartal 1-2023 yang melemah ke 1,1% dibandingkan kuartal IV-2022 di 2,6%.
Bukan Cuma AS, Ekonomi China Juga Lesu
Bukan hanya dari AS, China juga ikut membuat pusing para pelaku pasar pasalnya data ekonomi yang rilis baru-baru ini nyatanya tak menunjukan pemulihan utuh pasca pencabutan kebijakan lockdown pacsa Covid-19 yang membuat ekonomi Negeri Tirai Bambu ini tertekan.
Sebagaimana diketahui, Aktivitas pabrik China setelah 'mati suri' akibat pandemi Covid-19 kenyataannya belum mampu membuat produktivitas cepat pulih.
Ini menjadi lampu kuning bagi ekonomi China sebab manufaktur berkontribusi 33% terhadap pertumbuhan ekonomi China. Perlambatan ekonomi China ini harus diwaspadai oleh Indonesia.
Penurunan PMI China menjadi alarm bagi perdagangan luar negeri Indonesia, mengingat Negeri Tirai Bambu ini merupakan mitra dagang utama.
Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2023 berhasil tumbuh positif 4,5% secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022 yang mencapai 2,9% (yoy).
Produksi industri di China hanya tumbuh 5,6% (yoy), investasi aset tetap 4,7% dan penjualan ritel tumbuh 18,4%. Penjualan ritel memang menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Namun itu hanya dampak dari based effect setelah China memberlakukan lockdown.
Oleh karena itu, China rentan terhadap siklus penumpukan inventori yang diikuti oleh penurunan produksi, karena orientasi ekspor dan ketidakseimbangan dalam negerinya.
Pada Rabu (7/6/2023) data bea cukai melaporkan ekspor China turun 7,5% pada Mei secara year-on-year (yoy), sementara impor turun 4,5%. Angka ini di luar jajak pendapat ekonom yang di survei Reuters yang memperkirakan ekspor menyusut 0,4% dan impor turun 8%.
Setelah mengalahkan ekspektasi pada kuartal pertama, para analis sekarang menurunkan proyeksi ekonomi mereka untuk sisa tahun ini, karena produksi pabrik terus melambat di tengah lemahnya permintaan global.
Kinerja ekspor yang buruk mencerminkan permintaan yang lemah untuk barang-barang Cina seperti halnya kinerja impor yang lemah karena Cina membawa suku cadang dan bahan dari luar negeri untuk merakit produk jadi untuk ekspor.
Data Korea Selatan minggu lalu menunjukkan pengiriman ke China turun 20,8% pada bulan Mei, menandai penurunan bulanan selama setahun penuh, dengan ekspor semikonduktor Korea turun 36,2%, menunjukkan lemahnya permintaan komponen untuk pembuatan akhir.
Aktivitas pabrik China menyusut lebih cepat dari yang diharapkan pada bulan Mei karena melemahnya permintaan, indeks manajer pembelian resmi (PMI) menunjukkan minggu lalu.
Sub indeks PMI menunjukkan output pabrik berayun ke kontraksi dari ekspansi sementara pesanan baru, termasuk ekspor baru, turun untuk bulan kedua.
Setelah mengalahkan ekspektasi pada kuartal pertama, para analis kini menurunkan ekspektasi mereka terhadap ekonomi untuk sisa tahun ini, karena produksi pabrik terus melambat di tengah permintaan global yang terus melemah.
Pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan PDB yang sederhana sekitar 5% untuk tahun ini, setelah target tahun 2022 gagal total.
Pada 2024, Bank Dunia memperkirakan perekonomian China Bank Dunia akan melemah menjadi hanya tumbuh 4,6% dan merupakan hasil revisi ke bawah sebesar minus 0,4% dari proyeksi yang dilakukan pada Januari 2023. Pada 2025 pun pelemahan masih berlanjut menjadi 4,4%.
(aum/aum)