Newsletter

Utang Pemerintah Lokal China Tembus Rp 230.000 T, Krisis?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
06 June 2023 06:00
Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

IHSG dan rupiah yang masih bergerak tidak stabil tentu membuat pelaku pasar was-was. Perlu digarisbawahi bahwa kita belum terlepas dari kekhawatiran tingginya suku bunga.

Investor masih khawatir dan memasang mode wait and see serangkaian data ekonomi yang bisa memberikan sinyal kemana suku bunga akan berlabuh. Di tambah lagi ekonomi China yang kembali tertekan turut membuat pasar kita bergejolak.

Fokus utama investor masih berkutat pada ekonomi Amerika Serikat (AS), China, dan perkembangan data ekonomi penting dalam negeri yang kerap memberikan pengaruh terhadap pasar.

Dari China, tanda-tanda perlambatan ekonominya terus mencuat. Selama sepekan,  sejumlah data menunjukkan kemungkinan ekonomi negeri Presiden Xi Jinping mengalami penurunan.

Setelah sebelumnya data PMI Manufaktur China mengalami penurunan aktivitas pabrik China untuk periode Mei ini kembali menyusut lebih cepat dari yang diharapkan. Ini dipicu oleh melemahnya permintaan yang kian menambah tekanan pada pembuat kebijakan untuk menopang pemulihan ekonomi yang tidak merata.

Biro Statistik Nasional (NBS) pada Rabu (31/6/2023) melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 tercatat turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.

Angka ini benar-benar di luar ekspektasi analis, termasuk produksi dan investasi, meningkatkan kekhawatiran tentang momentum pertumbuhan China. 

Untuk diketahui, data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan.

Ekonomi Asia sangat bergantung pada kekuatan ekonomi China, yang sedang terhuyung-huyung karena pemulihan pasca-Covid kehilangan momentum saat ini.

Setelah mengalami lockdown ketat akibat Covid-19, perekonomian China ternyata belum jua pulih. Alih-alih mencetak pertumbuhan yang tinggi setelah pembukaan kembali, impor China justru mengalami kontraksi.

Selain aktivitas pabrik, beberapa kota di China kini juga dilaporkan tengah bermasalah dengan utang. Jumlah utang menembus US$ 15,3 triliun atau Rp229.500 triliun.

Wuhan, kota di Provinsi Hebei tempat pertama kali Covid-19 merebak misalnya, secara terbuka menyebutkan nama ratusan debitur dalam sebuah artikel surat kabar lokal. Biro keuangan lokal Wuhan mencetak daftar 259 entitas yang berutang lebih dari 300 juta yuan.

Otoritas itu bahkan agar perusahaan-perusahaan itu melunasi kewajibannya sesegera mungkin. Selain Wuhan dan Kunming, Guizhou, salah satu provinsi termiskin di China, secara terbuka mengakui kegagalan mengatur keuangannya. Bahkan, meminta bantuan Beijing untuk menghindari gagal bayar.

Kabar ini tentu saja memunculkan kekhawatiran seperti Amerika, meski belum begitu mencuat tetapi ini menjadi hal yang patut diwaspadai. Financial Review melaporkan, besarnya utang pemerintah lokal tersebut bisa menjadi kabar buruk bagi para eksportir yang mengirim barang ke China.

Dari Amerika, Investor saat ini juga cenderung memasang mode wait and see terkait kebijakan The Fed, 13-14 Juni mendatang. Meskipun sinyal kenaikan suku bunga terlihat jelas pasca rilis data tenaga kerja yang masih kuat pekan lalu.

Departemen Tenaga Kerja pada Jumat (2/6/2023) melaporkan daftar gaji di sektor publik dan swasta meningkat sebesar 339.000 untuk bulan tersebut, lebih baik dari perkiraan Dow Jones yakni sebesar 190.000 dan mencatatkan pertumbuhan pekerjaan positif selama 29 bulan berturut-turut.

Sementara itu, tingkat pengangguran berada di 3,7% dibandingkan perkiraan 3,5%, tepat di atas level terendah sejak 1969.

Data ini tentu saja menjadi hal yang penting untuk menjadi pertimbangan The Fed terkait kebijakan suku bunganya ke depan.

Angka klaim awal pengangguran yang masih terkendali itu menjadi indikasi bahwa ekonomi Amerika Serikat masih solid. Selain itu juga menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih akan baik ke depan, sehingga akan mempengaruhi laju inflasi.

tidak membuat para pelaku pasar meyakini Bank Sentral AS (Federal Reserves/The Fed) akan menaikkan suku bunga pada pertemuan 14 Juni nanti.

Berdasarkan perangkat FedWatch sebesar 72,7 investor optimis The Fed akan menahan suku bunga di 5,00%-5,25%.

Kalau ini terjadi, maka menjadi kenaikan suku bunga The Fed selama 11 bulan berturut-turut dan menjadi yang tertinggi sejak 2007. Keputusan ini dilakukan the Fed sebagai langkah menjinakkan inflasi yang masih jauh dari target.

(aum/aum)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular