
Harga Ambruk 60%, Saham Emiten Batu Bara Sudah di Senja Kala?

Jakarta, CNBC Indonesia - Masa pesta (party) saham emiten batu bara mulai berakhir. Meroket tinggi selama 2022, saham-saham tersebut loyo selama tahun ini. Bagaimana nasibnya ke depan?
Sepanjang 2022, indeks sektor energi (IDXENERGY) memimpin kenaikan sektoral dengan kenaikan luar biasa 100,05%. Ini ditopang sentimen kenaikan harga komoditas global, termasuk batu bara, imbas dari ketatnya pasokan seiring meletusnya perang Rusia-Ukraina.
Sementara, sejak awal 2023 (YtD), IDXENERGY malah anjlok 20%, paling buruk di antara sektor lainnya.
Saham PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR), yang sempat menjadi buah bibir saat meroket lebih dari 1.500% pada 2022 di tahun pertama melantai (listing) di bursa, kini harus anjlok 50,15% secara year to date (YtD).
Artinya, apabila ada investor yang mengoleksi ADMR mulai dari awal tahun ini, nilai investasinya sudah berkurang separuh.
Saham sang induk ADMR, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) pun keok, dengan turun tajam hingga 37,14% YtD.
Saham emiten yang terafiliasi dengan Luhut Pandjaitan PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) pun mengalami aksi jual yang besar hingga minus 37,19% sepanjang 2023.
Belum lagi, nama-nama besar macam PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Indika Energy Tbk (INDY), hingga PT Bumi Resources Tbk (BUMI), yang mengalami penurunan secara berturut-turut hingga 36,52%, 31,87%, dan 26,71%.
Harga batu bara yang diprediksi bakal melambat di rentang US$176-US$197/ton pada 2023 seiring potensi perlambatan ekonomi dan pemulihan pasokan batu bara global berkat reopening ala China akan menekan kinerja emiten batu bara RI.
Asal tahu saja, harga batu bara kembali ambruk setelah sempat menguat. Pada perdagangan Kamis (18/5/2023), harga batu bara kontrak Juni di pasar ICE Newcastle ditutup di posisi US$ 154 per ton. Harganya ambruk 6,5%.
Harga tersebut adalah yang terendah sejak 3 Januari 2022 (US$ 151/ton) atau lebih dari 16 bulan terakhir.
Pelemahan ini berbanding terbalik dengan penguatan yang terjadi pada Rabu lalu di mana harga batu bara naik 2,01%.Sepanjang bulan ini harga batu bara sudah jeblok 16,82% sementara sepanjang tahun ambruk 60,5%.
Kabar teranyar, stok batubara China naik di tengah permintaan lebih rendah pada April lalu.
China National Coal Association (CNCA) memprediksi pasokan batubara China akan tetap konstan pada tahun 2023.
Pada akhir 2022, China memiliki cadangan batubara sekitar 66 juta ton atau naik 26,6% dari tahun sebelumnya, sedangkan persediaan batubara di pelabuhan utama turun 6,8% YoY menjadi 55,3 juta ton.
Di sisi lain, stok batu bara China di perusahaan listrik yang naik signifikan 6% YoY menjadi 175 juta ton. Apalagi, stok batu bara China di pembangkit listrik sudah melampaui rekor tertinggi 170 juta ton sejak Juni 2022.
Baru-baru ini pada Maret, China dilaporkan masih mengimpor lebih banyak batu bara dari negara lain, dengan impor batubara termal seaborne mencapai 26,82 juta ton. Angka itu adalah level tertinggi sejak Januari 2017, 41% lebih tinggi dari bulan Februari dan 70% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Sementara, permintaan listrik India tahun ini diproyeksikan mencapai level tertinggi baru, yang diperkirakan akan memicu lebih banyak lagi konsumsi batubara.
Di sisi pasokan, China telah mencabut larangan impor batubara Australia, yang seharusnya menguntungkan penambang domestik Australia untuk meningkatkan produksi mereka yang sudah mencapai rekor. Pada Maret, negara pengiriman batu bara ke China mencapai ~USD13 miliar (28% MoM, 31% YoY)
Dengan harga komoditas yang mulai memuncak seiring pasokan melimpah, kuartal I 2023 menjadi puncak kinerja emiten batu bara RI, serta perubahan regulasi (macam skema BLU) hal tersebut membuat investor mulai ambil untung di sektor batu bara.
Ini juga sekaligus membuat sektor batu bara tidak lagi menjadi unggulan (overweight) seperti tahun lalu, atau bisa dibilang berada di rating netral.
Karenanya, kinerja saham batu bara pada tahun ini, seperti saham siklikal (cyclical) lainnya yang bergantung pada siklus lantaran sifat industri yang price-taker (tidak mampu menentukan harga semaunya) bukan price-maker (memiliki kekuatan pricing), tidak akan segila tahun lalu.
Belum lagi, risiko jangka menengah hingga panjang soal peralihan ke energi hijau akan membuat sektor batu bara tidak akan semenarik tahun-tahun kejayaanya di masa depan.
Untuk jangka pendek, saham-saham dengan dividen tinggi bisa menjadi 'pelipur lara' bagi investor yang merasa belum puas dengan reli saham batu bara selama 2022.
Namun, tetap diingat, downtrend saham-saham utama batu bara seperti disebutkan di atas tetap perlu menjadi perhatian investor.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga
(fsd/fsd)
Next Article Nasib Nasib... Saham Batu Bara 'Kebakaran' Lagi