
Ekonomi China Makin Gelap, Diramal Bakal "Hilang" 10 Tahun!

Wall Street yang belum mampu kompak menguat tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar saham hari ini.
Selain itu China masih menjadi perhatian, dengan inflasi yang sangat rendah, dikhawatirkan raksasa ekonomi dunia ini bisa mengalami "lost decade" atau "dasawarsa yang hilang" seperti Jepang 30 tahun yang lalu.
Peneliti dari Japan Institute of International Affairs, Toshiya Tsugami sebagaimana dilansir Think China memperlihatkan kondisi saat ini memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Jepang saat mengalami lost decade.
Persamaan yang pertama yakni turunnya tingkat kelahiran. Berbeda dengan Jepang yang sebagian warganya enggan punya anak, Pemerintah China justru menerapkan kebijakan satu anak, yang membuat menurunnya angka kelahiran. Alhasil, tingkat kelahiran di China mengalami penurunan tajam.
Persamaan berikutnya yakni aset riil yang mengalami bubble. China sebelumnya mengatakan kapitaslisasi pasar real estate akan mencapai US$ 65 triliun, lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Eropa bahkan saat keduanya digabungkan.
Tsugami Jepang juga merasakan hal yang sama 30 tahun lalu.
Tim analis dari Citigroup juga mengungkapkan hal yang sama persis dengan Tsugami. Financial Times pada akhir Februari lalu melaporkan tim dari Citigroup tersebut melihat China sekarang "sangat mirip" dengan Jepang pasca era properti bubble.
Citigroup juga melihat kesamaan lain, misalnya Jepang yang kala itu berada dalam fase pertumbuhan ekonomi yang sangat kuat yang dimulai setelah era perang, kemudian China mengalaminya setelah bergabung dengan World Trade Organization pada 2021. Pertumbuhan ekonomi yang kuat dari kedua negara tersebut juga dilakukan dengan cara yang sama, yakni investasi pada infrastruktur dan mendorong ekspor.
Jepang dan China juga membiayai pertumbuhan dengan cara yang sama. Bubble properti di Jepang dipicu oleh pembiayaan tidak langsung oleh bank komersial. China juga mengembangkan sistem keuangan yang tergantung dari pembiayaan tidak langsung.
Banyak lagi kemiripan kedua negara sehingga China dikhawatirkan akan mengalami lost decade.
Tanda-tanda pelambatan ekonomi China sudah terlihat. Data dari pemerintah China menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur pada April tercatat sebesar 49,2, turun dari bulan sebelumnya 51,9 dan berada di level terendah sejak Desember 2021.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.
Indonesia juga akan terkena imbasnya, sebab China merupakan pasar ekspor terbesar.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 nilai ekspor Indonesia ke China sebesar US$ 63,5 miliar, melesat 24% dibandingkan 2021. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 23% terhadap total ekspor Indonesia.
Bandingkan dengan ekspor ke Amerika Serikat sebesar US$ 28, miliar yang berkontribusi sebesar 10%. Ekspor ke China dua kali lipat lebih besar ketimbang ke Amerika Serikat, sehingga pelambatan ekonomi Negeri Tiongkok bisa berdampak signifikan ke Indonesia.
Masalah ekonomi China bisa terus membayangi pasar finansial Indonesia, sehingga ada risiko kembali mengalami tekanan.
Dari Eropa, Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) kembali menaikkan suku bunga sebesar 25% menjadi 4,5% sesuai dengan prediksi pasar. BoE memberikan kabar baik sekaligus kabar buruk.
Inflasi yang masih sangat tinggi membuat BoE memberikan indikasi suku bunga akan kembali dinaikkan, yang tentunya menjadi kabar buruk bagi pasar finansial. Kabar baiknya, BoE memprediksi Inggris tidak akan mengalami resesi.
Melihat respon bursa Eropa, pasar lebih merespon peluang suku bunga kembali dinaikkan. Maklum saja, semakin tinggi suku bunga, maka pasar saham kurang diuntungkan. Apalagi melihat perekonomian Inggris yang cukup resilient, suku bunga tinggi bisa ditahan dalam waktu yang lama.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
(pap/pap)