Newsletter

Lupakan Amerika, China Bakal Jadi Masalah Besar Bagi RI!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 May 2023 06:00
1068654048
Foto: AFP via Getty Images/FRED DUFOUR

Seperti disebutkan halaman sebelumnya, inflasi di Amerika Serikat terus melandai, tetapi dikatakan sulit mencapai target bank sentral AS (The Fed) sebesar 2%.

Namun, setidaknya rilis data tersebut membuat ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed pada bulan depan menurun. Data terbaru dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar kini melihat probabilitas sebesar 9% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% - 5,5% pada 14/15 Juni mendatang.

Probabilitas tersebut menurun drastis ketimbang sebelum rilis data inflasi, sebesar 21%.

fedFoto: FedWatch CME Group

Hal ini tentunya menjadi kabar bagus bagi pasar finansial global, termasuk Indonesia. IHSG, rupiah hingga SBN pun bisa mendapat sentimen positif.

Namun, kini yang menjadi perhatian adalah inflasi China. Berbeda dengan kebanyakan negara, China justru menghadapi masalah inflasi yang terlalu rendah.

Pada Maret lalu, inflasi China hanya tumbuh 0,7% (yoy) menjadi yang terendah sejak September 2021. Rendahnya inflasi terjadi meski bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) memangkas suku bunganya dan menyuntikkan likuiditas ke perekonomian.

Inflasi tinggi bisa menggerus daya beli masyarakat, sebaliknya inflasi yang rendah bisa berarti daya beli masyarakat lemah atau masyarakat enggan berbelanja dan memilih saving. Sehingga, tingkat inflasi yang tepat, bisa merupakan indikator kesehatan dan pertumbuhan ekonomi.

Negara-negara maju misalnya, menetapkan target inflasi sebesar 2%, tidak lebih dan tidak kurang.

Dalam kasus China, masyarakatnya lebih memilih untuk menahan belanja. Artinya, masyarakat China masih belum optimistis terhadap kondisi perekonomian.

"Pandangan inti kami ekonomi China mengalami deflasi," kata Raymond Yeung, kepala ekonom untuk China di ANZ Research, sebagaimana dilaporkan CNN, Selasa (25/4/2023).

Hasil survei Reuters menunjukkan inflasi pada April yang dirilis pagi ini hanya tumbuh 0,4% (yoy). Jika sesuai prediksi, inflasi tersebut akan menjadi yang terendah sejak Maret 2021, atau saat China menghadapi masa sulit pandemi Covid-19.

Deflasi bisa menjadi masalah yang tidak kalah rumit ketimbang inflasi tinggi. Jepang sudah mengalaminya selama dua dekade yang membuat pertumbuhan ekonominya sangat rendah.

Masalahnya, China merupakan negara perekonomian terbesar kedua di dunia, dan mitra dagang utama Indonesia. Ketika perekonomian China melambat, maka permintaan impor dari Indonesia berisiko menurun.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 nilai ekspor Indonesia ke China sebesar US$ 63,5 miliar, melesat 24% dibandingkan 2021. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 23% terhadap total ekspor Indonesia.

Bandingkan dengan ekspor ke Amerika Serikat sebesar US$ 28, miliar yang berkontribusi sebesar 10%. Ekspor ke China dua kali lipat lebih besar ketimbang ke Amerika Serikat, sehingga pelambatan ekonomi Negeri Tiongkok bisa berdampak signifikan ke Indonesia.

"Satu kalimat yang bisa menggambarkan ekonomi China saat ini adalah deflasi sudah dimulai dan perekonomian menuju jurang resesi," kata Liu Yuhui, profesor di Chinese Academy of Social Sciences (CASS).

Perkembangan ekonomi China ini layak menjadi perhatian para pelaku pasar.

Selain itu, setelah pasar finansial Indonesia ditutup sore nanti akan ada pengumuman suku bunga bank sentral Inggris (Bank of England/BoE). Inflasi yang masih tinggi diprediksi memaksa BoE kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%.

Dampak dari kebijakan BoE baru akan terasa di dalam negeri pada perdagangan Jumat.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini



(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular