
Belum Usai, Amerika Masih Kucilkan RI! Begini Perkembangannya

- Belakangan kabar Amerika Serikat (AS) yang mengucilkan Indonesia masih menyeruak ke permukaan. Pasalnya ini masih dalam diskusi panjang antara pihak AS dan Indonesia.
- Ini terjadi ketika Negara Adidaya ini berlaku tidak adil dalam pemberian subsidi hijau bagi mineral untuk kendaraan listrik.
- Kabar terbaru dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menilai aturan Inflation Reduction Act atau IRA membuat AS menjadi dilema sendiri.
Jakarta, CNBC Indonesia - Belakangan persoalan Amerika Serikat (AS) yang tengah mengucilkan Indonesia masih berlanjut hingga saat ini. AS dinilai sedang pilih kasih alias tidak berlaku adil terhadap Indonesia.
Kalimat yang menyeruak adalah "AS sedang mengucilkan negara kita, Indonesia" khususnya terkait dengan pemberian subsidi hijau bagi mineral yakni nikel untuk kendaraan listrik. Hal ini tentu memunculkan reaksi pemerintah kita.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan buka suara terkait dengan tidak masuknya Indonesia dalam kebijakan paket subsidi hijau dalam kredit pajakĀ Inflation Reduction Rate (IRA).
Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan apa yang diungkapkannya kepada Menteri Perdagangan Amerika Serikat (AS) terkait pengucilan nikel RI.
Pada dasarnya, menurut Luhut kebijakan AS untuk "mengucilkan" nikel RI terbilang aneh, karena mayoritas 99% hasil olahan nikel RI diekspor ke China dan hanya 1% ke Eropa.
Data tersebut sejalan dengan ungkapan Luhut kepada Menteri Commerce AS yang menyebutkan bahwa kebijakan AS untuk "mengucilkan" nikel RI ini memang terbilang aneh.
Awalnya, pengucilan produk nikel itu dikatakan langsung oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang menyayangkan atas pengucilan terhadap mineral kritis Indonesia dari paket subsidi Amerika Serikat untuk teknologi hijau.
Sebagaimana diketahui, pemerintah AS akan menerbitkan pedoman kredit pajak bagi produsen baterai dan EV di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi dalam beberapa minggu ke depan. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.
Namun, baterai yang mengandung komponen sumber Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajakInflation Reduction Rate (IRA) secara penuh. Alasannya AS menilai bahwa Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri nikel.
Sebagaimana diketahui, sejak awal April lalu Indonesia sebetulnya tidak tinggal diam. Awal April lalu Luhut pun terbang ke AS untuk mengajukan proposal Limited FTA khususnya soal nikel.
Namun, Luhut sempat menyatakan jika AS tidak segera menjalin kerja sama dengan Indonesia atau tidak menyetujui Limited FTA dengan Indonesia, maka yang akan rugi adalah pihak AS itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, melansir dari laporan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), produksi nikel di dunia diperkirakan mencapai 3,3 juta metrik ton pada 2022. Angka ini melesat 20,88% dibandingkan pada 2021 yakni 2,73 juta metrik ton.
Dalam laporan tersebut, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia pada 2022. Total produksinya diperkirakan mencapai 1,6 juta metrik ton atau menyumbang 48,48% dari total produksi nikel global sepanjang tahun lalu.
Dibandingkan dengan AS, menempati urutan terakhir sebagai penghasil nikel terbesar di dunia yakni hanya 18 ribu metrik ton. Dibandingkan dengan Indonesia, tentu masih kalah jauh.
Selain unggul sebagai produsen, Indonesia tercatat sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia pada 2022 yakni mencapai 21 juta metrik ton. Posisinya setara dengan Australia. Ada pula Brazil sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia berikutnya sebanyak 16 juta metrik ton.
Kucilkan Indonesia Justru Bikin AS Merugi, Ini Buktinya!
Dalam hal ini, Luhut tidak khawatir dengan pengucilan yang dilakukan AS terhadap komoditas produk nikel asal RI. Mengingat Indonesia memiliki opsi lain untuk melakukan ekspor produk nikel ke negara lain.
Terlebih, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat cadangan nikel kita bisa sampai ratusan tahun. Menurut BPS stok nikel nasional bisa dimanfaatkan untuk produksi selama 108 tahun. Simak buktinya.
Sebagai informasi, BPS telah menghitung estimasi umur aset ini dari rasio antara stok fisik (cadangan) sumber daya mineral nasional pada akhir 2021 dengan tingkat ekstraksinya dalam beberapa tahun terakhir.
"Mereka (AS) yang sulit karena tidak ada pasokan lagi. Kita bisa ekspor ke negara lain. Sekarang kita sedang kontak lagi dengan AS untuk cari win-win solution, kita lagi dalam pembicaraan final. Mungkin nanti di G7 Pak Jokowi dan Biden akan ada pertemuan bilateral," ungkap Luhut.
Sejauh ini, konsumen nikel terbesar adalah negara China. Mengacu data Statista, permintaan nikel China pada tahun 2020 lalu mencapai 1,31 juta ton.
Sementara permintaan nikel global yang pada tahun lalu mencapai 2,78 juta ton, seperti ditulis menurut International Nickel Study Group (INSG), diperkirakan akan meningkat menjadi 3,02 juta ton tahun ini.
AS juga merupakan salah satu konsumen nikel terbesar di dunia, menurut data USGS konsumsi timah AS pada 2021 sebesar 210.000 ton atau sekitar 7% dari total konsumsi dunia. Tetapi, dengan permintaan yang "hanya" kurang dari seperempat juta ton, tentunya Amerika Serikat tidak akan kesulitan memenuhi kebutuhannya.
AS akan tetap membutuhkan nikel dari Indonesia. Hal itu diperlukan untuk mendukung program energi terbarukan yang membutuhkan baterai yang mengandung NMC atau Nikel, Mangan, Cobalt.
Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia, hal ini menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mendorong perekonomian tanah air melalui komoditas tersebut. Pasalnya, nikel merupakan bahan baku penting dalam pembuatan baterai pada industri kendaraan listrik (EV), yang tengah bertumbuh eksponensial secara global.
Sebab itu, banyak yang meyakini bahwa Indonesia tidak akan dirugikan secara signifikan atas 'pengucilan' Amerika Serikat (AS) terhadap nikel Indonesia.
Apalagi, pemerintah kini tengah berjuang mendukung hilirisasi nikel di Indonesia. Pabrik pengolahan nikel di Indonesia juga sudah cukup banyak dan tidak akan kalah saing dengan negara yang menerima subsidi hijau dari AS.
Hal ini juga didukung oleh pemberian insentif yang bervariatif oleh Pemerintah Indonesia kepada pabrik pengolah nikel di dalam negeri.
Dalam industri pengembangan kendaraan listrik, pemerintah juga turut mengajak Amerika maupun Uni Eropa untuk menaruh kepercayaan pada Indonesia dan negara ASEAN lainnya. Dengan peran penting Indonesia dan ASEAN dalam rantai pasokan kendaraan listrik.
Itu sebabnya kita harus optimis bahwa kawasan ini akan menjadi mitra strategis baik Amerika Serikat, Uni Eropa maupun China dalam sektor energi bersih.
Langkah ini juga sebagai penguatan hubungan ekonomi dan politik bagi ASEAN terhadap global, serta memberikan manfaat bagi industri dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)