Newsletter

Awas! Benih-Benih Kenaikan Suku Bunga The Fed Muncul Lagi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 May 2023 06:00
US-ECONOMY-BANK-RATE-INFLATION
Foto: Ketua The Fed Jerome Powell. (AFP/SAUL LOEB)

Wall Street yang kembali melemah tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar finansial hari ini. Suku bunga di Amerika Serikat kembali menjadi perhatian. The Fed pada pekan lalu sebenarnya memberikan sinyal akan menghentikan periode kenaikan suku bunga setelah melakukan selama 10 kali beruntun dengan total 500 basis poin menjadi 5% - 5,25%.

Namun, rilis data tenaga kerja AS yang kuat membuat pelaku pasar melihat kemungkinan Jerome Powell dan kolega menaikkan suku bunga lagi.

Pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 17% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada bulan Juni. Padahal sebelum rilis data tenaga kerja, probabilitas tersebut nyaris nol, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group.

fedFoto: FedWatch CME Group

Pada Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang April perekonomian Amerika Serikat mampu menyerap 253.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street sebanyak 180.000 orang.

Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%. Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran 3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.

Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5% month-to-month, lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara year-on-year, rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.

Dalam kondisi normal, pasar tenaga kerja yang kuat dengan rata-rata upah yang tinggi tentunya menjadi kabar baik. Tetapi, dalam kondisi "perang" melawan inflasi hal itu menjadi buruk bahkan bisa sangat buruk.

Rata-rata upah per jam yang masih naik tinggi tentunya membuat daya beli masyarakat tetap kuat. Alhasil, inflasi menjadi sulit turun.

Presiden The Fed wilayah New York, John William mengatakan inflasi baru akan mencapai target 2% dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Ia juga membuka peluang suku bunga kembali dinaikkan. 

"Kami tidak pernah mengatakan kenaikan suku bunga sudah berakhir. Kami akan memastikan mencapai target kami, kami akan menilai apa yang terjadi pada perekonomian dan mengambil keputusan berdasarkan data," kata William sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (9/5/2023).

Data inflasi dari AS akan dirilis malam ini. Hasil polling Reuters menunjukkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada April diprediksi tumbuh 0,4% month-to-month (mtm) lebih tinggi dari sebelumnya 0,1%. Sementara secara tahunan atau year-on-year (yoy) diperkirakan sebesar 5%, sama dengan bulan sebelumnya.

Inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan pangan diprediksi tumbuh 0,4% (mtm) sama dengan pertumbuhan Maret, dan 5,5% (yoy) sedikit turun dari bulan sebelumnya 5,6% (yoy).

Prediksi tersebut menunjukkan inflasi di Amerika Serikat masih sulit turun, yang bisa jadi menguatkan ekspektasi kenaikan suku bunga. Apalagi jika inflasi tersebut justru lebih tinggi dari prediksi.

Hal ini tentunya bisa memberikan tekanan ke pasar finansial global, termasuk Indonesia. IHSG, rupiah hingga SBN bisa kembali mengalami tekanan.

Sebelum rilis data tersebut, aset-aset di dalam negeri kemungkinan masih akan bergerak volatil.

Dari dalam negeri, akan dirilis data survei penjualan eceran oleh Bank Indonesia. Data ini bisa memberikan gambaran bagaimana konsumsi masyarakat memasuki kuartal II-2022, yang seharusnya tumbuh tinggi mengingat berada saat bulan Ramadhan.

Seperti disebutkan pada halaman 1, konsumsi masyarakat merupakan tulang punggung perekonomian. Semakin tinggi maka pertumbuhan ekonomi akan semakin terkerek.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular