
Keuangan Limbung, PTPP Masih 'Sakit '

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk atau PTPP sudah tidak 'sakit' lagi. Namun, data menunjukkan sebaliknya.
Erick mengakui sejumlah BUMN Karya, termasuk PP, mencatatkan kinerja buruk dalam beberapa tahun terakhir. Memburuknya kinerja diawali oleh banyaknya penugasan pemerintah dalam membangun infrastruktur di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Demi memenuhi tugas tersebut, BUMN Karya terpaksa menambah modal, termasuk dengan menambah pinjaman. Tumpukan pinjaman demi pinjaman ini membuat keuangan perusahan 'sakit' karena membengkaknya beban utang hingga bunga utang.
"BUMN PP udah sehat. Itulah kenapa Pak Wamen Tiko (Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmojo) sekarang sedang bekerja keras untuk mencoba merestrukturisasi secara total," ujar Erick, bulan lalu.
Delapan tahun menjadi salah satu motor pembangunan infrastruktur, PT PP masih berjuang keras mengurangi sejumlah utang dan kewajiban.
Merujuk Refinitiv, total liabilitas perusahaan per akhir 2022 tercatat Rp 42,79 triliun. Angka tersebut naik tipis 3,75% dibandingkan 2021 tetapi sudah melesat 23,5% dibandingkan 2018 atau dalam lima tahun terakhir.
Total utang berbunga PT PP tercatat Rp 20,62 triliun per akhir 2022. Jumlah tersebut meningkat 4,93% dibandingkan 2021 yang tercatat Rp 19,65 triliun.
Kenaikan total debt ini terbilang kecil bila dibandingkan historisnya dalam sembilan tahun sebelumnya. Rata-rata total debt sepanjang 2014-2022 melesat 29,3%.
Total utang berbunga PTPP pada akhir 2014 atau sebelum Jokowi menggalakkan utang infrastruktur tercatat Rp 3,10 triliun. Artinya, utang tersebut sudah melonjak 571%.
Utang pun kini menjadi modal modal utama perusahaan. Tidak heran kemudian jika struktur permodalan PTPP sangat bergantung kepada utang bank ataupun obligasi.
PTPP kini lebih kerap menerbitkan obligasi baru untuk membayar utang lama dibandingkan untuk ekspansi bisnisnya.
PTPP memang sempat mendapatkan dana segar melalui rights issue senilai Rp 4,41 triliun serta mendapat suntikan modal dari pemerintah senilai Rp 2,25 triliun pada 2016. Selebihnya, mereka mengandalkan utang.
Laporan Tahunan 2022 menunjukkan utang bank jangka pendek per akhir 2022 tercatat Rp 5,3 triliun. Padahal, lima tahun lalu masih tercatat Rp 2,47 triliun.
Namun, angkanya sudah turun dibandingkan per akhir 2021 yang tercatat Rp 6,58 triliun.
Utang obligasi juga sudah melandai dari Rp 5,7 triliun pada 2021 menjadi Rp 4 triliun pada akhir tahun lalu.
Utang obligasi mulai meloncat pada 2018. Pada tahun tersebut, utang obligasi tumbuh 234,9% menjadi Rp 3,01 triliun dari Rp 898 miliar pada 2020.
Bila utang non-bank dan obligasi mulai melandai, utang non-perusahaan dari pihak berelasi melambung 765,2% per akhir 2022 menjadi Rp 614,3 miliar.
