
Awas "Gempa", Wall Street Diramal Jeblok 6% Awal Maret!

- Perang The Fed melawan inflasi masih jauh dari kata selesai yang bisa berdampak buruk bagi pasar finansial global.
- Wall Street diprediksi bakal jeblok, indeks S&P 500 diramal turun ke bawah 3.800 atau sekitar 6% dari level saat ini pada awal Maret.
- The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga tiga kali lagi hingga mencapai 5,25% - 5,5%.
Jakarta, CNBC Indonsia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street menunjukkan kinerja yang apik pada 2023 sejauh ini. Tetapi, dalam beberapa pekan Wall Street diperkirakan akan jeblok dan semua penguatan di tahun ini akan lenyap.
Sebagai kiblat bursa saham dunia, jebloknya Wall Street tentunya bisa menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Bahkan dampaknya bisa lebih luas dan memicu "gempa" di pasar finansial. Di pasar mata uang di mana rupiah berisiko tertekan, begitu juga ke pasar obligasi, sebab ada risiko capital outflow yang masif terjadi lagi.
Bukan kaleng-kaleng, prediksi tersebut diberikan oleh Bank of America (BofA). Penyebabnya, bank sentral AS (The Fed) yang jauh dari kata selesai dalam melawan inflasi.
Indeks S&P 500 saat ini berada di kisaran 4.000 dan diprediksi akan turun ke bawah 3.800 atau sekitar 6% pada awal Maret.
"Hati-hati, penguatan indeks S&P 500 pada 2023 akan lenyap awal bulan depan," kata Michael Hartnett, kepala ahli strategi investasi Bank of America dalam sebuah catatan kepada nasabah mereka, sebagaimana dikutip Business Insider, Jumat (17/2/2023).
Inflasi di Amerika Serikat memang sudah mulai menurun, tetapi data pada Januari penurunannya masih lebih tinggi dari ekspektasi pasar. Yang mengkhawatirkan adalah pasar tenaga kerja yang masih kuat.
Departemen Tenaga Kerja AS pada awal bulan ini melaporkan sepanjang Januari perekonomian Paman Sam mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll), jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 260.000 orang.
Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,5%. Persentase penduduk yang tidak bekerja tersebut berada di posisi terendah sejak Mei 1969.
Kemudian, rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% year-on-year, lebih tinggi dari prediksi 4,3%.
Dengan pasar tenaga kerja yang kuat apalagi rata-rata upah naik masih cukup tinggi, daya beli masyarakat tentunya masih kuat. Saat demand masih tinggi, inflasi akan sulit menurun.
"Pasar tenaga kerja, penjualan ritel, inflasi, misi The Fed masih jauh dari kata selesai meski sudah menaikkan suku bunga 450 basis poin," kata Hartnett.
Pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga tiga kali lagi pada Maret, Mei dan Juni masing-masing sebesar 25 basis poin hingga menjadi 5,25% - 5,5%. Ini artinya pasar melihat suku bunga bisa lebih tinggi dari proyeksi yang diberikan The Fed 5% - 5,25%.
Ekonom Bank of America, Michael Gaspen juga sepakat, melihat terminal suku bunga The Fed di kisaran 5,25% - 5,5%.
Semakin tinggi suku bunga, bahkan jika ditahan dalam waktu yang lama tentunya bisa membuat perekonomian merosot, resesi semakin mengancam tidak menutup kemungkinan cukup dalam.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)