Sectoral Insight

Hilirisasi Mulu, Pak Jokowi Pikirin Juga Mother of Industry!

Tim Riset, CNBC Indonesia
16 February 2023 16:55
foto/ Peresmian Pabrik Industri Baja PT. Krakatau Steel (persero) Tbk, Kota Cilegon, 21 September 2021/ Youtu: Setpres
Foto: foto/ Peresmian Pabrik Industri Baja PT. Krakatau Steel (persero) Tbk, Kota Cilegon, 21 September 2021/ Youtu: Setpres
  • Industri baja memegang peran besar dalam pengembangan industri secara keseluruhan
  • Kapasitas industri baja nasional masih di bawah rata-rata
  • Industri baja nasional harus berjuang keras melawan baja impor

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri baja disebut sebagai mother of industries karena besarnya peran mereka dalam menyokong pertumbuhan dan perkembangan industri sebuah negara.

Baja memegang peran strategis dalam industri sebuah negara karena semua jenis industri, baik berat ataupun ringan, membutuhkan baja. Termasuk di dalamnya untuk konstruksi bangunan, badan mobil, mesin jahit, hingga alat rumah tangga.

Baja juga menopang sektor infrastruktur karena konstruksi jalan membutuhkan material baja.

Kebutuhan baja nasional berada pada kisaran 16 juta ton dan diproyeksikan meningkat menjadi 17 juta ton pada tahun ini dan menembus 100 juta ton pada 2045.

Sayangnya, perkembangan industri baja Tanah Air justru masih jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Besarnya impor serta persoalan supply demand menjadi hambatan terbesar dalam pengembangan industri baja.

Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan produksi baja kasar Indonesia mencapai 14,3 juta ton pada 2021.

Dengan produksi sebanyak itu, Indonesia menempati peringkat 16 dalam daftar produsen baja terbesar di dunia.

Posisi ini memang lebih baik dibandingkan pada 2017. Pada tahun tersebut, produksi baja kasar Indonesia hanya mencapai 5,19 juta ton dan posisi Indonesia ada di peringkat 28 dunia.

Kendati meningkat, posisi Indonesia kalah jauh dibandingkan negara tetangga seperti India, China, Iran, atau bahkan Vietnam.  Produksi baja Vietnam sudah menembus 23,019 juta ton pada 2022.

China menjadi produsen terbesar di dunia dengan jumlah produksi menyentuh 1,032 miliar ton atau 53% dari produksi global (1,95 miliar ton).

Konsumsi baja per kapita Indonesia saat ini masih kurang dari 70 kg per kapita per tahun, jauh tertinggal dari Korea Selatan 1.076 kg, Tiongkok 667 kg, Jepang 456 kg, dan Amerika Serikat 291 kg per kapita.

Konsumsi Indonesia bahkan tertinggal dibandingkan dengan konsumsi baja per kapita negara tetangga ASEAN, seperti Malaysia 210,5 kg, Thailand 233,3 kg, dan Singapura 273,5 kg per kapita.

Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) dalam laporannya Kinerja Industri Baja Tahun 2022 dan Prospek Tahun 2023 mengatakan salah satu penyebab belum maksimalnya kinerja industri baja nasional adalah utilisasi yang rendah.

Tingkat utilisasi kapasitas industri baja nasional masih di bawah 60% bahkan rata-ratanya hanya 43,6%, jauh di bawah tingkat idealnya yakni 80%.

Utilisasi yang rendah ini menunjukkan masih rendahnya tingkat keuntungan pelaku industri baja nasional karena tidak mampu menjaga keberlangsungan operasi dan pertumbuhan kapasitas. 

Kebutuhan baja domestik memang meningkat terus tetapi banjirnya baja impor membuat utilisasi perusahaan rendah.

Impor bajaFoto: IISIA
Impor baja

 

Data PT Krakatau Steel menunjukkan rata-rata baja impor pada 2019 memiliki share 41% lebih. Untuk beberapa jenis baja bahkan ada di atas 50%.

Betapa ironisnya antara kapasitas dalam negeri dan besarnya impor tercermin dari jenis baja hot rolled coil (baja canai panas) dan cold rolled coil (baja canai dingin) pada 2019.

Kapasitas produksi cold rolled coil nasional mencapai 2,38 juta ton tetapi produksinya hanya mencapai 751.000 ton. Artinya, tingkat utilisasi hanya menyentuh 32%.

Ironisnya, impor baja jenis cold rolled coil mencapai 1,99 juta ton sehingga share baja impor jenis tersebut menembus 73%.

Impor sebesar itu untuk memenuhi konsumsi domestik sebesar 2,74 juta ton.

Kondisi serupa terjadi pada baja jenis hot rolled coil. Kapasitasnya mencapai 4,9 juta ton tetapi produksinya hanya 2,05 juta ton. Dengan demikian, tingkat utilisasinya hanya 42%.
Sebaliknya, pasokan dari impor mencapai 1,9 juta ton atau 51% dari konsumsi.

Tingkat utilisasi yang tertinggi adalah jenis plate yakni 66%.

Secara keseluruhan, produksi baja nasional tumbuh 8,52% pada 2021 menjadi 14 juta ton.  Impor tumbuh lebih tinggi yakni 17,5% menjadi 6,7 juta ton pada 2021 dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebelum pandemi Covid-19 pada 2019, impor bahkan menembus 8,4 juta ton.

Kenaikan impor terbesar ada pada cold rolled coil (CR Coil). Pada 2021, impor produk tersebut menembus 1,86 juta ton atau naik 73% dibandingkan 2020.

Data PT Krakatau Steel lain menunjukkan porsi impor baja paduan mencapai 2,2 juta ton atau 38%. Padahal, kebutuhan baja paduan untuk industri dalam negeri hanya 10%.


Ketidaksesuaian antara jumlah yang diimpor dan kebutuhan inilah yang menguatkan kecurigaan jika banyak baja impor yang masuk ke Indonesia melalui cara "illegal".

Di antaranya adalah dengan mengelabui Harmonized System (HS) Codes. Cara lainnya adalah dengan menambah sedikit unsur paduan (alloying element) seperti boron atau chromium ke dalam baja, sehingga produk tersebut masuk dalam kategori baja paduan.

Dalam catatan Bea dan Cukai, bea masuk baja dan turunannya dikenai tarif bea masuk yang bervariasi 5-20%. Sebaliknya, baja boron dibebaskan dari bea masuk.

Produsen baja juga banyak menggunakan siasat impor yang tidak fair seperti anti-dumping dan sangat murah (predatory pricing).  

Untuk melindungi sekaligus mengembangkan industri baja nasional, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya.

Di antaranya adalah optimalisasi Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), penetapan slag baja sebagai limbah non- bahan berbahaya dan beracun (B3), serta  penerapan neraca komoditas untuk mengetahui pasokan dan permintaan,

Langkah lainnya adalah pengendalian impor serta pemberlakuan SNI Wajib produk logam. Pengendalian impor paling umum adalah dengan memberlakukan trade remedies.

 Instrumen seperti bea masuk anti-dumping (BMAD), bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP), atau safeguards dilakukan Indonesia untuk melindungi industri domestik dari kerugian akibat praktik perdagangan tidak sehat atau unfair trade.

Data IISIA menunjukkan Indonesia termasuk 10 besar pengguna instrumen trade remedies terhadap impor produk besi dan baja.

Penggunaan trade remedies bajaFoto: IISIA
Penggunaan trade remedies baja



Namun dibanding dengan negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Kanada, India, atau Thailand, penggunaan trade remedies Indonesia masih rendah.

Pada periode 1995-2019, Indonesia mengenakan 79 trade remedies atas produk baja (kode 72 & 73), dengan rincian ant- dumping atas 59 kasus serta safeguards untuk 20 kasus.

Langkah BMAD salah satunya dilakukan pada Maret 2022 kepada impor produk Hot Rolled Coil of Other Alloy (HRC Alloy) asal China untuk lima tahun ke depan. 

Besaran BMAD bervariasi antara 4-50%. Sejumlah perusahaan yang terkena adalah Rizhao Steel Holding Group Co., Ltd., Rizhao Steel Wire Co., Ltd., dan Baohua Steel International Pte. Limited (Singapura).

Langkah trade remedies Indonesia juga dinilai kurang efektif karena cakupan produk yang dituduh sebagai produk dumping relatif kecil sehingga tidak berdampak terhadap penurunan jumlah impor yang masuk.

IISIA mengatakan proses inisiasi hingga penerapan trade remedies Indonesia juga memakan waktu yang cukup panjang sekitar 15 - 25 bulan).

Kondisi ini membuat dampak negatif bagi industri baja sudah terjadi cukup lama dan merugikan.

Menurut mereka, diperlukan percepatan waktu proses dan peningkatan penggunaan instrumen Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS).


CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular