Jakarta, CNBC Indonesia - Industri jasa keuangan Indonesia sedang tak baik-baik saja. Sederet kasus membuat geger, mulai dari asuransi hingga koperasi.
Masih hangat di ingatan soal kasus Indosurya yang kembali membuat publik heboh. Pasalnya, tersangka kasus ini justru divonis lepas oleh hakim persidangan lantaran kasusnya seharusnya ada di ranah perdata.
Lantas, bagaimana rincian kasus tersebut bersama sejumlah kasus lainnya?
Indosurya
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya telah mengumpulkan dana masyarakat hingga Rp 106 triliun dengan nilai kerugian sekitar Rp 16 triliun atas 6.000 nasabah. Adapun jumlah nasabah Indosurya secara keseluruhan sebesar 23.000 orang.
Meski telah memakan banyak korban, akhir kisah malapetaka ini tak berakhir bahagia. Terdakwa Kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana Koperasi Simpan pinjam (KSP) Indosurya Henry Surya divonis bebas atas segala dakwaan pada Selasa, (24/1/2023).
Kini, pemerintah sedang berjuang untuk melayangkan kasasi ke Kejaksaan Agung. Hal ini diungkap Kemenko Polhukam Mahfud MD pada Jumat, (27/1/2023).
KSP Sejahtera
Jumlah korban KSP Sejahtera Bersama jauh lebih banyak. Menurut Bareskrim Polri, kasus ini diduga telah menjerat kurang lebih 186 ribu korban dari seluruh Indonesia dengan tingkat kerugian mencapai dengan Rp 8 triliun.
Kasus gagal bayar KSP Sejahtera Bersama diketahui mulai mencuat pada tahun 2020. KSP Sejahtera Bersama menguarkan Surat Edaran yang dikeluarkan jajaran pengurus dan pengawasnya secara sepihak.
Terbaru, tim penyidik Bareskrim Polri juga telah bekerjasama dengan PPATK untuk menelusuri aliran dana KSP Sejahtera Bersama di berbagai wilayah. Dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Bali. Setelah ditelusuri, diketahui sebesar Rp 6,7 triliun dana anggota dikelola. Selain itu, pihak kepolisian menelusuri aset milik KSP dan melakukan penyitaan terhadap beberapa dokumen.
Kemudian pada 23 Desember 2022 lalu, Polri telah merampungkan penyidikan kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana nasabah senilai Rp 249 miliar oleh KSP Sejahtera Bersama. Berkas dua tersangka di kasus tersebut yaitu IS dan DZ dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.
Kedua tersangka, IS dan DZ diketahui merupakan pengawas dari Koperasi Sejahtera Bersama itu. Keduanya sudah ditahan di Kejaksaan dan sedang menunggu persidangan.
Wanaartha Life
PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha atau Wanaartha Life (WAL) gagal bayar Rp 15 triliun. OJK pun telah mencabut izin usaha WAL sebagai Perusahaan Asuransi Jiwa karena. Sanksi WAL adalah atas pelanggaran tingkat solvabilitas minimum, rasio kecukupan investasi minimum, dan ekuitas minimum tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perasuransian.
Sejak pencabutan izin usaha WAL, akases Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan Pegawai WAL diblokir. Akases tersebut merupakan tindakan untuk mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan atau menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha.
Berdasarkan keputusan sirkuler pemegang saham mayoritas dibentuklah tim likuidasi. Namun, Aliansi Korban Asuransi Wanaartha mencurigai tim likuidasi hanya untuk mengakomodir pihak pemegang saham mayoritas.
Pemegang saham mayoritas, yakni Evelina F. Pietruschka, Manfred F. Pietruschka, Rezananta F. Pietruschka sampai saat ini dalam status tersangka penggelapan polis asuransi jiwa Wanaartha dan dalam status DPO (Daftar Pencarian Orang).
Sampai saat ini, pihak OJK belum mengklarifikasi keabsahan tim likuidasi yang dipimpin Harvady M. Iqbal itu.
Asuransi Jiwa Kresna
PT Asuransi Jiwa Kresna (AJK) atau Kresna Life mengalami gagal bayar pada 2020 lalu. Adapun Dua produk asuransi yang gagal bayar tersebut Kresna Link Investa (K-LITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK).
Terdapat sekitar 8.900 nasabah dari seluruh Indonesia yang mengalami kerugian dengan total sekitar Rp6,4 triliun.
Pihak AJK sebenarnya telah berhasil membayar kerugian sebesar Rp1,4 triliun namun terhenti setelah rekening perusahaan diblokir karena Presiden Direktur AJK Kurniadi Sastrawinata telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ia kini tengah mengajukan gugatan pra-peradilan. Ribuan nasabah pun mendukung agar gugatan pra-peradilan tersebut akan dikabulkan.
Sementara itu, pihak Bareksrim Polri mengklaim ada 1700 nasabah yang masih bersikukuh dengan gugatan pidananya terhadap Kurniadi Sastradinata. Benny meragukan keabsahan jumlah tersebut dan mengatakan mayoritas nasabah yang ia wakili sudah mencabut laporannya.
AJB Bumiputera 1912
Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 juga gagal bayar. Ditaksir kerugiannya kurang lebih mencapai Rp13 triliun. Sempat akan membayar klaim pada tahun 2020 lalu, namun kembali tertunda tanpa alasan jelas.
Beberapa cara dilakukan agar mampu membayar klaim kerugian nasabah, seperti menjual aset, menerbitkan produk baru dan dikelola secara terpisah, hingga manajemen aset. Selain itu, Bumiputera juga berjanji bakal tetap membayar semua klaim yang tertunda dan tidak mengenal istilah gagal bayar.
Yang paling baru, Bumiputera merencanakan pembayaran klaim yang akan dilakukan dalam dua tahap, yakni mulai Februari 2023 dan tahap kedua dilakukan pada Februari 2024 seolah menjadi hal yang sangat dinanti saat ini.
Sementara itu, OJK belum menerima hasil Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) dari pihak Bumiputera.
Menteri Koperasi & UKM Teten Masduki mengungkapkan, ada 8 koperasi simpan pinjam (KSP) yang gagal bayar sewaktu Pandemi Covid-19.
"Mereka sudah menempuh penundaan pembayaran kewajiban utama antara 2024 sampai 2025. Kalau indosurya sampai 2006. Tapi realisasi putusan PKPU itu masih rendah. Misalnya KSP SB tadi yang di bogor itu baru 3 persen realisasinya," jelas Teten, di Istana Negara, Rabu (8/2/2023).
Kemudian Indosurya baru mencapai 15,58%, sehingga masih sangat rendah. Hal ini karena mereka sudah masuk wilayah hukum penegakan putusan PKPU.
"Karena itu saya kombinasikan dengan pak Menkopolhukam. Tadi saya juga laporkan ke beliau bahwa realisasi ini rendah karena memang ada penggelapan aset, aset koperasinya tidak dimiliki oleh koperasi tapi dimiliki oleh pengurus. Lalu juga diinvestasikan di perusahaan-perusahaan milik pendiri dan pengurus," ungkap Teten.
Menurutnya, hal itu sama persis seperti praktek perbankan pada tahun 1998, dimana koperasi simpan pinjam kumpulkan dana dari masyarakat lalu diinvestasikan di grupnya sendiri tanpa ada batas minimum pemberian kredit.
"Ini kelemahan UU Koperasi, karena UU Koperasi kita No 25 tahun 1992 itu pemerintah tidak punya kewenangan pengawasan. Pengawasan dilakukan oleh koperasi sendiri. oleh pengawas yg diangkat oleh koperasi," tuturnya.
Sehingga, pihaknya berupaya mempercepat revisi undang-undang koperasi. Langkah ini seiring dengan semakin banyak kasus yang menyebabkan kerugian masif.