Koperasi: Dulu Penyelamat, Kini Kedok Rampok Uang Rakyat

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 1870 adalah masa kritis bagi ekonomi Hindia Belanda. Ekonomi kolonial diprediksi akan terhambat apabila tetap memaksakan sistem tanam paksa. Alhasil, untuk menggerakkan roda ekonomi pemerintah memutuskan untuk menerapkan Undang-Undang Gula (Suikerwet) dan UU Agraria (Agrarisch Wet).
Inti kedua aturan tersebut adalah liberalisasi ekonomi. Perusahaan asing dan swasta diperbolehkan membuka industri setelah menyewa lahan warga lokal atau pemerintah. Ini adalah persentuhan pertama masyarakat Hindia Belanda dengan modal swasta dan asing. Meski ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat, sistem ini berhasil memantik kebangkitan dan persaingan industri lokal skala kecil, dari mulai bisnis batik sampai komoditas alam.
Meski demikian, Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012) menyebut kalau pemerintah kolonial sangat mengatur seluruh proses ekonomi, termasuk proses peminjaman modal lewat bank-bank Belanda. Hal ini kemudian jadi masalah bagi pribumi karena mereka kesulitan untuk mendapatkannya. Sekalipun diberi modal mereka bakal dikejar-kejar rentenir. Dari sinilah mulai muncul ide pembentukan bank pertolongan atau simpanan.
Peluang ini kemudian mendorong pegawai kolonial di Purwokerto, Raden Aria Wiria Atmadja, mendirikan lembaga keuangan bernama Hulp-En Spaar Bank pada 1896. Tujuannya adalah untuk membantu pegawai pribumi dalam urusan kredit. Jika ada yang meminjam akan diberi bunga rendah sampai cicilannya selesai. Selain itu, lembaga ini akan menjamin proses distribusi barang dari bisnis pribumi. Para sejarawan sepakat kalau lembaga keuangan ini adalah koperasi pertama di Indonesia.
Perlahan, masyarakat kemudian merasakan dampak positif dari adanya koperasi. Sejak saat itulah koperasi berjamuran. Lembaga ini menjadi garda terdepan melawan kapitalisme atau penjajahan ekonomi Belanda yang monopolistik.
Lewat koperasi, masyarakat pribumi mendapatkan modal usaha dan bisa membeli barang dengan harga murah tanpa merusak harga pasar. Alhasil, ekonomi rakyat perlahan membaik. Meski membuat Belanda risih dan berulang kali ditertibkan, tetap saja muncul koperasi-koperasi baru.
Sampai Indonesia merdeka Soekarno juga mengandalkan koperasi untuk mendongkrak perekonomian rakyat. Rakyat mendapat modal usaha dan bisa membeli barang secara murah. Ekonomi perlahan bisa bangkit.
Selama itu, sejak awal berdiri, koperasi tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Mengutip uraian Fadli Zon dalam disertasinya berjudul Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta (1926-1959) (2016), Hatta memandang koperasi sebagai bangkirnya kaum miskin. Maksudnya, koperasi bakal menyediakan akumulasi modal untuk rakyat, bukan rakyat untuk akumulasi modal.
Koperasi diproyeksikan sebagai medium ekonomi kerakyatan. Di koperasi terdapat sistem gotong royong ketika produksi dilakukan oleh semua, untuk semua, di bawah kepemilikan masyarakat. Ada tanggung jawab bersama dalam pengurusan koperasi. Tidak boleh ada permusuhan dalam pengurusan. Nantinya, kemakmuran masyarakat yang jadi keutamaan, bukan perorangan.
Pemikiran Hatta ini sebetulnya tak lekang oleh waktu. Terus relevan sepanjang zaman.
Namun, kini pemikiran positif ini tercoreng oleh munculnya permasalahan miris berupa aksi kriminal sejumlah oknum koperasi yang melakukan investasi bodong. Dari 142.142 unit koperasi yang dicatat pemerintah pada 2018, tidak semuanya berjalan lurus. Dalam 10 tahun terakhir, sejumlah kasus penipuan berkedok koperasi terungkap. Dilansir CNN Indonesia, beberapa di antaranya seperti Pandawa Group, Dream Freedom, PT Cakrabuana Sukses Indonesia dan empat travel umroh berkedok koperasi.
Untuk Pandawa Group berhasil menipu dan merugikan masyarakat hingga Rp3,8 triliun. Untuk Cakrabuana Sukses Indonesia telah merugikan 170 ribu orang hingga Rp1,6 triliun. Lalu, Dream Freedom menipu 700 ribu orang hingga membuat mereka merugi hingga Rp3,5 triliun.
Terbaru, ada kasus koperasi Indosurya yang merugikan masyarakat hingga Rp106 triliun. Kasus ini menjadikannya sebagai kasus penipuan terbesar di Indonesia.
Adanya tindakan seperti ini jelas mempermalukan nama baik koperasi yang sudah berusia 76 tahun. Di usia senja, alih-alih membantu masyarakat mencapai kesejahteraan bersama, koperasi kini malah merampok uang rakyat demi motif pribadi pengurusnya semata.
[Gambas:Video CNBC]
Jaksa: Kasus Indosurya Bikin Banyak Korban Gila dan Meninggal
(mfa/mfa)