
Rekor 3 Tahun Hancur, Rupiah Bercahaya Pimpin Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah tampil cemerlang pekan ini. Pada perdagangan Jumat (13/1/2023), rupiah ditutup di posisi Rp 15.140/US$, di pasar spot atau menguat 1,295%.
Penguatan sebesar itu menjadi yang tertinggi sejak 5 Juni 2020 atau 2 tahun dan delapan bulan atau nyaris tiga tahun terakhir. Pada tanggal tersebut, rupiah menguat sebesar 1,52%.
Posisi rupiah pada Jumat yang berada di Rp 15.140/US$1 juga menjadi yang terkuat sejak 27 September 2022 atau 3,5 bulan terakhir. Penguatan rupiah secara tajam ini tentu menjadi kabar baik mengingat mata uang Garuda terus terpuruk sejak September 2022 hingga akhir tahun 2022.
Penguatan sebesar 1,295% sehari juga terbilang luar biasa mengingat rupiah hanya mampu mencatatkan kenaikan di atas 1% dalam sehari sebanyak tujuh kali sejak 5 Juni 2020.
Bila dihitung sejak 2021, rupiah bahkan hanya mampu menguat lebih dari 1% sehari sebanyak empat kali yakni Jumat kemarin, pada 1 Desember 2022 sebesar 1,09%, pada 11 November 2022 sebanyak 1,291%, pada 4 Januari 2021 sebesar 1,12%.
Dalam lima hari perdagangan pekan ini, rupiah juga hanya sekali melemah yakni pada Selasa. Secara keseluruhan, rupiah menguat 3,24% dalam sepekan secara point to point. Penguatan sebesar 3,24% menjadikan rupiah sebagai salah satu mata uang terbaik Asia pekan ini.
Penguatan sepekan terakhir juga berbanding terbalik dibandingkan pekan lalu di mana rupiah masih melemah 0,42% sepekan.
Rupiah hanya kalah dibandingkan dengan yen Jepang yang menguat 3,28% sepekan. Mata uang lain Asia lainnya juga menguat. Ringgit Malaysia menguat 1,54%, won Korea menguat 1,37% sementara renminbi China terapresiasi 2,1%.
Dolar Singapura menguat 1,21%.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan pekan terakhir Desember 2022 di mana rupiah dan yen menjadi yang terburuk di Asia. Sebaliknya, dolar Singapura paling cemerlang pada periode tersebut.
Cemerlangnya rupiah merupakan imbas positif dari melemahnya dolar Amerika Serikat (AS), kebijakan dalam negeri terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE), serta derasnya capital outflow ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Indeks dolar anjlok ke 102,204 pada penutupan perdagangan akhir pekan ini, Jumat (13/1/2023). Posisi tersebut adalah yang terendah sejak awal Juni 2022 atau tujuh bulan terakhir.
Dolar AS jeblok sejalan dengan ekspektasi pelonggaran kebijakan The Federal Reserve (The Fed).
The Fed dipekirakan akan melonggarkan kebijakan moneternya sejalan melandainya inflasi AS menjadi 6,5%(year on year/yoy) pada Desember 2022, dari 7,1% pada November 2022.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Februari dan Maret dengan probabilitas sebesar 94% dan 76%. Dengan proyeksi tersebut, puncak suku bunga The Fed berada di 4,75% - 5%.
Selain itu, perangkat yang sama menunjukkan The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin pada September dengan probabilitas sebesar 34%, begitu juga sebulan setelahnya. Sehingga di akhir tahun pasar melihat suku bunga The Fed berada di 4,25% - 4,5%.
Dari dalam negeri, rencana merevisi aturan DHE juga menopang kinerja rupiah. Aturan DHE akan diperketat dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019. Melalui revisi tersebut, pemerintah akan memperluas sektor yang diwajibkan menempatkan DHE di dalam negeri.
Tidak hanya itu, pemerintah juga akan meminta eksportir menahan DHE mereka dalam periode tertentu.
Seperti diketahui, dalam aturan yang ada saat ini, hanya empat sektor di bidang Sumber Daya Alam (SDA) yang diwajibkan memasukkan DHE mereka ke dalam negeri. Di antaranya adalah sektor perkebunan, pertambangan, pertanian, kehutanan dan perikanan.
Derasnya capital outflow juga membuat rupiah perkasa. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan investor asing mencatatkan net buy sebesar Rp 12,36 triliun di pasar SBN pada periode 9-12 Januari 2022.
Net buy jauh lebih besar dibandingkan pada 2-5 Januari yang tercatat Rp 9,74 triliun. Net buy dalam jumlah besar pada pekan ini juga berbanding terbalik dengan aksi net sell di pasar SBN yang masih terjadi hingga akhir Desember 2022.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto pergerakan rupiah kali ini dipengaruhi oleh faktor sentimen global.
"Yang dominan adalah sentimen globalnya sedang kondusif untuk mendorong sentimen risk on, sehingga inflow asing di pasar SBN cukup besar," kata Edi, kepada CNBC Indonesia (13/1/2023).
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Makin Perkasa, Rupiah Terkapar ke Atas Rp 15.000/USD