Hore! Inflasi AS Menjinak, RI Bisa Dapat Berkah

News - Anisa Sopiah, CNBC Indonesia
13 January 2023 21:45
federal reserve Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS) melaporkan indeks harga konsumen (IHK) utama pada Desember 2022 turun ke level 6,5% (year on year/yoy). Angka ini turun dibandingkan November yang sebesar 7,1%.

Penurunan angka inflasi menjadi penting untuk melihat kondisi perekonomian AS ke depan. Pasalnya, angka inflasi tersebut dapat menjadi salah satu indikator yang menentukan naik turunnya tingkat suku bunga bank sentral AS (The Fed). Lantas, apakah penurunan inflasi ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia? Berikut pendapat para ekonom.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman melihat kondisi ini dapat menciptakan peluang besar terjadinya capital inflow di negara emerging market. Pasalnya inflasi yang menurun ini dapat berakibat pada rendahnya ruang kenaikan suku bunga AS (FFR) di 2023. Bahkan ia memproyeksikan rupiah akan mengalami penguatan akibat kondisi ini.

"Benar bisa ada potensi inflow karena penurunan inflasi membuka ruang kenaikan FFR yg lebih rendah di 2023. Dan ini akan berdampak pada penurunan yield UST dan DXY. Jadi ada peluang inflow masuk ke emerging market," jelasnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (13/1/2023).

"Rupiah akan kemungkinan bisa menguat. Karena walau stock outflow karena harga komoditas mulai melemah. Tapi di bond market akan inflow. In total, ytd masih inflow. Jadi masih dapat menopang rupiah," tambahnya.

Senada dengan Faisal, Ekonom Permata Bank Josua Pardede juga mengatakan inflasi ini berpotensi memberikan pelemahan terhadap dolar AS sehingga dapat mendorong masuknya aliran modal asing ke pasar domestic Indonesia.

"Dalam jangka pendek, dampak sentimen inflasi ini berpotensi mendorong pelemahan dollar indeks (kinerja dollar AS terhadap mata uang utama) yang selanjutnya mendukung aliran modal asing ke pasar finansial domestik, baik pasar saham atau pasar obligasi, yang pada akhirnya mendorong penguatan nilai tukar rupiah," jelasnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (13/1/2023).

"Sentimen perlambatan inflasi akan menyebabkan investor memerkirakan bahwa Fed akan membatasi kenaikan suku bunga Fed pada tahun ini. Dengan kondisi bahwa suku bunga Fed akan mendekati puncaknya, investor akan terdorong untuk mencari aset-aset di luar aset dolar AS, termasuk di dalamnya adalah aset dari negara berkembang," lanjutnya.

Namun, dia mengatakan sentimen ini bisa saja tidak terjadi jika the Fed masih mengeluarkan sinyal untuk menaikkan suku bunga secara agresif (hawkish). Menurutnya hal ini masih sangat mungkin terjadi.

Namun, Faisal menegaskan bahwa sentimen ini dapat terhapus atau menghilang di pasar keuangan bila Fed masih memberikan pernyataan dan sinyal kebijakan hawkish. Hal tersebut masih berpotensi terjadi seiring dengan inflasi headline serta inti tahunan AS yang tidak jauh berbeda dengan proyeksi sebelumnya.

"Oleh karena itu, rilis data AS tersebut akan cenderung mendorong penguatan rupiah terhadap dolar AS, namun lebih temporer," jelasnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy menilai penurunan inflasi ini akan berdampak pada perubahan dari kebijakan moneter Indonesia. Ini mengingat suku bunga acuan AS menjadi acuan banyak negara berkembang salah satunya Indonesia.

Pasalnya, penurunan inflasi ini menurutnya seakan memberikan sinyal bahwa the Fed tidak akan melakukan kebijakan hawkish di tahun ini.

Dia melihat dampak penurunan inflasi ini lebih akan terlihat dari transmisi di sisi kebijakan moneter. Artinya dengan melandainya angka inflasi meskipun relatif masih tinggi namun agresivitas dari The Fed dalam menaikkan suku bunga acuannya itu tidak akan seagresif jika dibandingkan dengan di akhir tahun 2022.

Kebijakan dari bank sentral AS ini tentu akan menjadi acuan bank sentral negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya Indonesia.

"Bank Indonesia dengan mempertimbangkan angka inflasi domestik dan juga kebijakan bank sentral, saya perkirakan tentu tidak akan seagresif dalam menaikkan suku bunga acuan sama seperti yang terlihat di akhir tahun 2022 silam," lanjut Yusuf.

Menurutnya, dengan tingkat suku bunga yang tidak terlalu tinggi kenaikannya ini dapat menjadi modal bagi proses pemulihan ekonomi di tahun ini. Misalnya seperti suku bunga acuan yang mempengaruhi tingkat suku bunga lain termasuk di dalamnya suku bunga kredit.

Yusuf pun menilai suku bunga kredit yang lebih rendah kenaikannya tentu ini akan sedikit menstimulasi pelaku usaha misalnya untuk melakukan ekspansi usaha. Apalagi jika misalnya ternyata inflasi pada tahun ini bisa dikendalikan oleh BI di level yang lebih rendah.

"Maka menurut saya ada peluang BI bisa mempertahankan suku bunga acuan tanpa menaikkan, tapi sekali lagi ini asumsinya angka inflasi berhasil dijinakkan ke angka yang lebih rendah," katanya.

Selain itu, kondisi ini menurutnya memberikan sinyal yang bagus terhadap penguatan nilai tukar rupiah terhadap AS karena ini akan mengecilkan kemungkinan capital outflow dari Indonesia. Dan tentunya didorong dengan aliran modal masuk kembali ke Indonesia.

"Dengan proyeksi atau asumsi Bank Sentral as akan lebih tidak agresif dalam menaikkan suku bunga acuan tentu ini juga akan ikut mempengaruhi aliran kapital dari negara-negara berkembang menuju AS sehingga potensi keluarnya aliran modal dari Indonesia ke Amerika Serikat itu lebih kecil untuk terjadi," terangnya.

"Jika ini terjadi maka ini merupakan sinyal positif bagi nilai tukar karena volatilitasnya bisa relatif less volatile atau dalam kondisi yang lebih bagus sebenarnya rupiah berpotensi kembali menguat karena aliran modal kembali masuk di Indonesia dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga acuan bank sentral AS yang relatif tidak agresif," pungkasnya.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Inflasi di AS 'Mendarah Daging', Resesi Dunia di Depan Mata?


(haa/haa)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading