Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah akan meminta eksportir menahan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di perbankan domestik. Langkah tersebut diperkirakan akan mendongrak cadangan devisa (cadev) pada tahun ini.
Aturan DHE akan diperketat dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019. Melaui revisi tersebut, pemerintah akan memperluas sektor yang diwajibkan menempatkan DHE di dalam negeri.
Tidak hanya itu, pemerintah juga akan meminta eksportir menahan DHE mereka dalam periode tertentu.
Seperti diketahui, dalam aturan yang ada saat ini, hanya empat sektor di bidang Sumber Daya Alam (SDA) yang diwajibkan memasukkan DHE mereka ke dalam negeri. Di antaranya adalah sektor perkebunan, pertambangan, pertanian, kehutanan dan perikanan.
Namun, eksportir hanya diwajibkan melaporkan dan menempatkan dananya ke perbankan dalam negeri. Tidak ada ada aturan mengenai batas waktu penempatan sehingga DHE bisa kembali ditarik dalam hitungan menit.
Kondisi inilah yang membuat lonjakan ekspor tidak berimbas kepada pasokan dolar Amerika Serikat (AS).
"Ini (nanti) kita masukkan juga beberapa sektor, termasuk manufaktur sehingga peningkatan ekspor dan surplus neraca perdagangan sejalan dengan peningkatan devisa. Bukan hanya berkaitan dengan sektor tapi juga jumlahnya. Jumlah devisa berapa sektornya mana, kemudian berapa lama dia parkir di dalam negeri," ujar Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sesuai arahan Presiden Jokowi dalam rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Rabu (11/1/2023).
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz memperkirakan cadev akan berada di kisaran US$ 140 miliar pada tahun ini. Selain karena revisi aturan DHE, cadev juga diperkirakan akan naik karena kembalinya dana asing ke pasar keuangan domestik.
Irman memperkirakan ekspor akan melambat tahun ini sejalan dengan ancaman resesi dan melandainya harga komoditas global. Kondisi ini membuat penerimaan dari ekspor pun akan berkurang.
"Cadev akhir tahun ini i ke level US$ 140 miliar. Tapi lebih disebabkan kembalinya dana asing ke pasar keuangan domestik. Hal ini mempertimbangkan ekspor yang trennya melambat pda tahun ini," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.
Bank Dunia dalam laporannya Global Economic Prospects edisi Januari 2023 memperkirakan perdagangan global akan melambat menjadi 1,6% pada 2023 dari 4% pada 2022.
Bank Dunia juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya 1,7% pada 2023 dari proyeksi sebelumnya 3%.
Senada, kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan cadev akan berada di kisaran US$ 140 miliar pada tahun ini.
"Kami memperkirakan perlambatan ekonomi global akan menurunkan kinerja ekspor baik dari sisi volume atau harga," tutur Andry dalam MacroBrief bulan lalu.
Data Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pergerakan cadev tidak hanya dipengaruhi oleh laju ekspor tetapi juga tingkat suku bunga global.
Cadev Indonesia melonjak tajam pada 2009-2011 saat terjadi booming komoditas. Pada periode tersebut ekspor melonjak dari US$ 116,49 miliar pada 2009 menjadi US$ 203,62 miliar pada 2011.
Cadev pun melonjak US$ 43,99 miliar dari US$ 66,11 miliar pada akhir 2009 menjadi US$ 110,1 miliar pada akhir 2011.
Pada periode tersebut, kebijakan moneter di tingkat global masih sangat dovish. Pada 2008, bank sentral Amerika Serikat (AS) bahkan memangkas suku bunga acuan hingag 425 basis points (bps) untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi setelah ditimpa Krisis Mortgage 2008.
Aliran modal asing pun mengalir deras ke pasar keuangan Indonesia. Data BI menunjukkan inevstasi portofolio menembus US$ 10,4 miliar pada 2009, melonjak dibandingkan 2008 yang tercatat US$ 1,76 miliar.
Cadev melandai pada 2013 sejaan dengan penurunan ekspor serta periode taper tantrum di pasar keuangan global setelah The Fed mengumumkan akan mengakhiri quantitative easingnya.
Cadev anjlok ke US$ 99,39 miliar pada 2013 dari US$ 112,78 miliar pada 2012. Saat itu, ekspor juga jatuh dari US$ 190 04 miliar pada 2012 menjadi US$ 166,57 miliar pada 2013.
Investasi portofolio sebenarnya masih naik menjadi US$ 13,49 miliar pada 2013 dari US$ 8,1 miliar pada 2012,
Cadev kembali naik pada 2014 berbarengan dengan kenaikan ekspor. Kondisi bertolak belakang antara cadev dan ekspor terjadi pada 2016,2019, dan 2022.
Cadev tetap naik pada 2016 dan 2019 saat ekspor Indonesia berkurang drastis. Namun, Cadev justru melonjak.
Posisi cadev per Desember 2019 mencapai US$ 129,18 miliar atau naik US$ 8,48 miliar sepanjang tahun tersebut. Padahal ekspor anjlok dan neraca perdagangan membukukan defisit sebesar US$ 3,2 miliar.
Besarnya cadev sangat dipengaruhi oleh kebijakan dovish the Fed yang memangkas suku bunga hingga 75 bps pada tahun tersebut. Investasi portofolio melonjak drastis dari US$ 9,31 miliar pada 2018 menjadi US$ 21,99 miliar pada 2019.
Pada tahun lalu, kondisi sebaliknya terjadi. Cadev anjlok di tengah lonjakan surplus neraca perdagangan.
Ekspor Indonesia pada Januari-November 2022 melonjak 28,16% menjadi US$ 268,18 miliar dan surplus tercatat US$ 5,16 miliar.
Namun, cadev justru berkurang US$ 7,7 miliar sepanjang 2022 dari US$ 144,91 miliar pada Desember 2021 menjadi US$ 137,2 miliar pada Desember 2022.
Banyaknya DHE yang diparkir di Singapura ditengarai menjadi amblesnya cadev di tengah panen ekspor.
Pada Agustus dan September 2021, cadev sebenarnya mencetak rekor dua bulan beruntun. Pada akhir Agustus 2021 tercatat US$ 144,78 miliar sementara pada September 2022 senilai US$ 146,9 miliar.
Sebagai catatan, pada periode tersebut belum ada tren kenaikan suku bunga global sehingga deposito dolar AS di perbankan Singapura masih rendah yakni di kisaran 0%.
Cerita berbeda terjadi pada 2022 sejak terjadi kenaikan suku bunga global. Rekor surplus yang terjadi pada April dan Agustus 2022 tidak berimbas ke cadev.
Saat ekspor mencetak surplus pada April dan Agustus, cadev justru anjlok. Posisi cadev per akhir April 2022 tercatat US$ 135,7 miliar atau turun dibandingkan Maret (US$ 139,1 miliar).
Pada akhir Agustus 2022, cadev tercatat US$ 132 miliar atau tidak bergerak dari Juli.
Melemahnya cadev berbarengan dengan kenaikan bunga deposito dolar AS di Singapura. Sejak pertengahan tahun lalu, bank-bank Singapura saling berperang menaikkan bunga deposito demi menarik simpanan dolar AS, termasuk dari Indonesia.
Penelusuran CNBC Indonesia menunjukkan rata-rata bunga deposito dolar AS di perbankan Singapura ada di kisaran 2,95-3,86% untuk tenor satu bulan. Sementara itu, untuk tenor 12 bulan bunga depositonya menembus hingga 5,1%.
TIM RISET CNBC INDONESIA