Perkara Orang AS Tak Mau WFO, Goyang Ekonomi Dunia!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
21 December 2022 17:30
NEW YORK, NEW YORK - JULY 28: A "now hiring" sign is displayed in a window in Manhattan on July 28, 2022 in New York City. The Commerce Department said on Thursday that the nation's Gross Domestic Product (GDP) fell 0.2 percent in the second quarter. With two GDP declines in a row, many economists fear that the United States could be entering a recession.  (Photo by Spencer Platt/Getty Images
Foto: Getty Images/Spencer Platt

Jakarta CNBC Indonesia - Gejolak sektor keuangan yang dialami dunia saat ini bersumber dari Amerika Serikat (AS). Bahkan bila ditelisik lebih jauh, persoalan ini tak lepas orang AS yang kini enggan untuk bekerja ke kantor alias work from office (WFO).

Hal ini diceritakan oleh Menteri Keuangan periode 2013-2014 Muhammad Chatib Basri pada acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023 di Jakarta, Rabu (21/12/2022).

Chatib menjelaskan, gejolak tersebut muncul ketika Bank Sentral AS The Fed mulai mengetatkan kebijakan moneter dan berlanjut kepada kenaikan suku bunga acuan secara agresif. Hal ini karena inflasi yang melonjak drastis.

Kenaikan harga minyak dan gas bumi serta pangan menjadi bagian dari pemicunya. Akan tetapi yang cukup berperan besar hingga ke depannya adalah tingginya tawaran gaji di AS.

"Yang menarik di AS terjadi shifting jadi untuk tingkat pengangguran yang sama, lowongan pekerjaan justru besar sekali. Bagaimana jelaskan ini? Ibu Sri Mulyani sudah jelaskan ada perubahan behaviour dari sisi supply pekerja di sana," ujarnya.

Kecenderungan tidak masuknya para tenaga kerja di negara itu ke pasar kerja menurut Chatib Basri lebih disebabkan dampak Pandemi Covid-19, yang membuat mereka lebih nyaman bekerja dari rumah, bahkan lebih tertarik untuk bekerja secara jarak jauh atau remote.

"Orang itu mulai prefer kerja dari rumah, secara remote dan tidak masuk ke pasar kerja. Padahal permintaan orang kembali ke pasar kerja. itu terjadi di AS, dan orang-orang yang dibutuhkan dengan skill tertentu mungkin pindah ke region atau keluar AS sehingga yang terjadi adalah walaupun tingkat pengangguran sudah rendah, lowongan pekerjaan masih besar," ujarnya.

Dengan adanya kondisi tingginya permintaan tenaga kerja di tengah minimnya pasokan, membuat tingkat upah di AS menurut Chatib Basri naik, akibatnya berujung pada tekanan inflasi di negara itu bertengger di posisi yang tinggi.

Karena itu, ia mengungkapkan, mantan Menteri Keuangan AS Lerry Summers sudah mengatakan, Amerika Serikat harus menciptakan resesi di negaranya sendiri supaya tingkat penganggurannya naik dari posisi saat ini di kisaran 3,7%

"Jadi menurut dia resesi ini dibutuhkan untuk menghadapi inflasi. Jadi itu by design, karena itu dia mengatakan bahwa tingkat pengangguran di AS, sekarang 3,7%, ini harus di buat either 6%, 7%, atau setahun itu 10%. Nah bagaimana cara melakukan itu berarti The Fed harus menaikkan suku bunga secara agresif jadi itu by design," kata Chatib Basri.

Situasi ini menurutnya akan membuat tingkat inflasi di AS baru bisa menurun pada akhir 2023, karena The Fed sendiri harus menjaga tingkat suku bunga acuannya terus meningkat demi terus menekan tingkat inflasi yang disebabkan tingginya tingkat upah di negara itu.

"Jadi walaupun suku bunga naik, enggak necesserly tingkat inflasi akan segera turun. Mungkin baru bisa terjadi akhir tahun 2023. jadi The Fed mungkin akan naikkan bunga slow pace 25 bps setelah itu akan di atas dan baru akhir 2023 akan lower interes rate," ujar dia.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jumlah Lowongan Kerja di AS Anjlok, Terparah Sejak 2,5 Tahun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular