Macro Insight

Asing Bisa Kabur Bila BI Salah Ambil Keputusan Pekan Ini

Maesaroh, CNBC Indonesia
19 December 2022 11:50
Bank Indonesia
Foto: REUTERS/Iqro Rinaldi

Macro Insight

- Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan pada Kamis (22/12/2022).
Setelah menaikkan suku bunga acuan masing-masing sebesar 50 basis points (bps) pada September-November 2022, pelaku pasar kini menunggu apakah BI akan kembali mengerek suku bunga secara agresif sebesar 50 bps pada pekan ini.

Secara keseluruhan, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps pada tahun ini menjadi 5,25%. Kenaikan sebesar 175 bps hanya dalam kurun waktu empat bulan (Agustus-November) adalah yang paling agresif sejak 2005 atau dalam 17 tahun terakhir.

- BI diperkirakan akan sedikit mengendurkan kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada bulan ini dengan hanya mengerek sebesar 25 bps.



Inflasi yang terus melandai akan menjadi pertimbangan BI dalam menaikkan suku bunga secara moderat.

Namun, keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) yang akan melanjutkan kebijakan hawkishnya pada tahun depan bisa membuat BI tetap agresif dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps.

- Bada Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada November 2022 tercatat 0,09% (mont to month/mtm) sementara sera tahunan (year on year/yoy) menyentuh 5,42%.
Secara tahunan, inflasi terus melandai dari 5,95% pada September kemudian menjadi 5,71% pada Oktober

Semakin melandainya inflasi November menunjukkan jika dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi sudah mulai memudar.




Dampak kenaikan harga BBM ke inflasi jauh di bawah ekspektasi pasar. Secara bulanan, inflasi hanya tinggi pada September yakni 1,17% (mtm). Pada Oktober 2022, Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatatkan deflasi 0,11% (mtm).

Artinya, dampak kenaikan harga BBM hanya terjadi dalam satu bulan yakni September. Inflasi inti juga melandai ke 3,3% pada November dari 3,31% pada Oktober (yoy).
Tekanan inflasi diperkirakan akan meningkat pada Desember sejalan dengan meningkatnya permintaan selama Hari Raya Natal dan Tahun Baru.

Namun, secara keseluruhan inflasi diperkirakan hanya berkisar 5,3-5,6% pada tahun inim jauh di awah ekspektasi pasar yang semula memperkirakan akan menembus 6-7%.

-Stabilitas nilai tukar rupiah akan menjadi agenda terpenting BI pada bulan ini. Nilai tukar rupiah melandai 0,08% pada pekan lalu. Pelemahan ini tidak sedalam pada pekan sebelumnya di mana rupiah anjlok 1,1%.

Di antara mata uang Asia, rupiah setidaknya kini menjadi yang terbaik karena tidak melemah sangar dalam. Namun, pelemahan rupiah yang sudah berlangsung sejak September jelas tidak baik bagi perkembangan impor Indonesia. Rupiah yang terus melemah akan membebani pengusaha karena sebagian besar barang modal dan bahan baku industri masih didatangkan dari negara lain.

Nilai tukar rupiah juga masih sangat sensitif terhadap kebijakan di Amerika Serikat. Pernyataan hawkish The Fed pekan lalu membuat rupiah masih tertekan.  Pernyataan The Fed membuat arus modal asing ke pasar domestik sedikit berkurang sehingga rupiah pun belum bisa menguat dalam sepekan.



Berdasarkan data BI pada periode 12-15 Desember 2022, investor asing masih mencatatkan net buy sebesar Rp 2,89 triliun di pasar Surat  Berharga Negara (SBN). Sebaliknya, di pasar saham masih tercatat net sell sebesar Rp 3,72 triliun.

Net buy pada pasar SBN menurun dibandingkan pada periode 5-8 Desember 2022 yang tercatat Rp 8,45 triliun atau pada periode 28 November-1 Desember yang tercatat net buy sebesar Rp 8,76 triliun.

Net buy di pasar SBN dikhawatirkan semakin menurun atau bisa berbalik menjadi net sell jika investor kecewa dengan keputusan BI pada Rapat Dewan Gubenur (RDG) pekan ini.

-Pelaku pasar kini juga menunggu langkah BI dalam menarik Devisa Hasil Ekspor (DHE).

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo sudah meminta BI untuk membuat aturan guna menarik DHE yang diparkir dari luar negeri.  Aturan tersebut diharapkan bisa menambah pasokan dolar di pasar domestik sehingga stabilitas nilai tukar rupiah lebih terjaga.

Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan menyebut suda ada 216 surat tagihan pelanggaran eksportir terkait DHE.

Banyaknya DH yang diparkir di luar negeri membuat cadangan devisa Indonesia justru menurun di tengah lonjakan ekspor. BPS mencatat surplus perdagangan Indonesia pada Januari-November 2022 menembus US$ 50,59 miliar.

Cadev pada akhir November 2022 tercatat US$ 134 miliar. Jika menilik posisi cadev per Desember 2021 yang tercatat US$ 144,9 dan cadev per akhir November sebesar US$ 134 miliar maka pada tahun ini cadev sudah terkuras US$ 10,9 miliar.

 -Selain BI, bank sentral China (PBoC) juga akan mengumumkan kebijakan moneter pada pekan ini.

Pelaku pasar memperkirakan PBoC akan menurunkan loan prime rate (LPR) pada pekan ini atau di awal 2023. Pasalnya, China tengah membutuhkan tenaga tambahan untuk mendongkrak ekonominya.
Membaiknya ekonomi China tentu akan berimbas positif ke Indonesia sebagai mitra dagang utama, Permintaan dari China diharapkan terus meningkat jika ekonomi mereka melaju.

Sebagai catatan, ekspor Indonesia ke China mencatat rekor tertinggi pada November 2022 dengan nilai US$ 6,28 miliar.

-Di luar kebijakan moneter, pekan ketiga Desember 2022 (19-23/2022) juga akan menjadi pekan penting bagi pemerintah untuk menggenjot belanja. Pasalnya, minggu ke empat belanja pemerintah akan berkurang drastis karena akan tutup buku.

Hingga Oktober 2022, belanja pemerintah baru menembus Rp 2.351,1 triliun atau setera dengan 75,7% dari pagu target APBN sesuai Perpres 98/2022.
Artinya masih ada sekitar Rp 755 triliun yang harus dihabiskan dalam kurun waktu dua bulan yakni November -Desember 2022.

Kenaikan belanja pada Desember akan berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular