
Eropa Larang Impor Hasil Pembabatan Hutan, Nasib CPO RI Piye?

Dengan diberlakukannya undang-undang terkait pelarangan impor produk terkait deforestasi tentu akan berimbas terhadap minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia. Pasalnya, Uni Eropa terdiri dari 27 negara, bahkan Jerman, Perancis, Italia dan Belanda termasuk di dalamnya. Beberapa negara tersebut juga memiliki perekonomian yang cukup besar di dunia.
Maka dari itu, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, tentunya peraturan ini menjadi ancaman yang serius untuk Tanah Air.
Sebenarnya, perdebatan deforestasi pada CPO Indonesia sudah terjadi sejak Januari 2007 ketika Time Toast melaporkan bahwa organisasi PBB menilai produksi minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi di Indonesia, di mana pembalakan liar dan penanaman kelapa sawit lazim terjadi di 37 dari 41 taman nasional.
Pada 2017, volume ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa sangat besar, bahkan lebih besar dibandingkan ke China. Volume ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa tercatat hingga mencapai 3,34 juta ton dan didominasi oleh impor dari Belanda hingga 1,16 juta ton. Nilai impor tersebut bahkan melebihi total impor China di 3,1 juta ton, meskipun masih kalah dengan impor India hingga 7,3 juta ton.
Pada tahun 2021, Uni Eropa mengimpor minyak sawit dan produk turunnya hingga mencapai US$ 6,4 miliar di mana sebagian besar akan digunakan sebagai bahan bakar biofuel.
Dari total tersebut, Indonesia dan Malaysia menyumbang sebesar 44,6% dan 25,2% dari impor tersebut. Impor dari Indonesia juga naik 9%.
Deforestasi
Sejatinya, Indonesia sudah menurunkan aktivitas deforestasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa angka deforestasi bersih pada 2019-2020 seluas 115.459 hektar, turun sampai 75% dibandingkan dengan tahun 2018-2019 sebesar 462.460 hektar. Data tersebut merupakan data deforestasi Indonesia yang disesuaikan dengan peta rupa bumi terbaru di Kebijakan Satu Peta.
Ruanda Agung Sugardiman, Plt Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Ligkungan (KLHK) mengatakan bahwa pemantauan deforestasi tersebut menggunakan citra satelit Landsat 8 OLI yang disediakan Lapan. Hasilnya, Indonesia memiliki tutupan hutan 95,6 juta hektar atau 50,9% dari daratan, dari luas itu 92,5% atau 88,4 juta hektar di kawasan hutan.
Kalimantan, menempati angka deforestasi tertinggi seluas 41.500 hektar (35%), disusul oleh Nusa Tenggara (21.300 hektar), Sumatera (17.900 hektar), Sulawesi (15.300 hektar), Maluku (10.900 hektar), Papua (8.500 hektar) dan Jawa (34 hektar).
![]() |
Pencapaian tersebut terus terjaga hingga pada 2021. Berdasarkan hasil pemantauan satelit Satelligence bahwa persentase kehilangan tutupan hutan yang timbul akibat aktivitas kelapa sawit juga turun.
Pendiri sekaligus Direktur Utama Satelligence, Niels Wielaard mengatakan bahwa laju kehilangan tutupan hutan telah menurun drastis hingga 87% jika dibandingkan dengan 2015 yang mencapai 907.513 ha.
Meski angka deforestasi menurun secara signifikan, tapi dengan diberlakukannya undang-undang yang melarang impor produk terkait deforestasi masih akan memberatkan Indonesia. Sebab, Indonesia belum dikatakan bebas akan deforestasi. Permintaan akan CPO berpotensi akan menurun dari Uni Eropa setelah undang-undang tersebut berlaku.
Pada 2021, Indonesia mengimpor CPO sebesar 44,6% dari total impor Uni Eropa senilai US$ 6,4 miliar, yang berarti senilai US$ 2,85 miliar atau setara dengan Rp 44,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.620/US$). Dengan begitu, Indonesia berpotensi kehilangan pemasukan sekitar Rp 44,5 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)
[Gambas:Video CNBC]