
Suku Bunga Acuan Naik, Sektor Properti Apa Kabar?

Tahun ini, sektor properti kembali menggeliat tercermin pada kinerja emiten-emitennya. Namun, para pelaku pasar perlu mencermati berbagai tantangan pada sektor ini ke depannya.
Salah satunya yakni, potensi kenaikan suku bunga acuan lanjutan oleh bank sentral utama dunia dan Bank Indonesia (BI) yang dapat menjadi katalis negatif.
Berdasarkan catatan, BI dalam empat bulan terakhir telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 175 basis poin (bps) dan mengirim tingkat suku bunga BI menjadi 5,25% pada November 2022. Kenaikan tersebut menjadi kenaikan yang paling agresif sejak 2005 silam atau 17 tahun lalu saat pertama kali BI memperkenalkan kebijakan moneter sebagai kerangka Inflation Targeting Framework (ITF) pada 1 Juli 2005.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengemukakan keputusan BI menaikkan bunga acuan hingga 175 bps untuk menjangkar ekspektasi inflasi yang mulai mengkhawatirkan imbas dari situasi dunia yang semakin tidak menentu.
"Kami bagaimana sesegera mungkin inflasi inti di bawah 4%, d bawah paruh pertama. Tahun depan, semua parih kedua kami majukan dan sekaligus menurunkan ekspektasi inflasi yang masih tinggi," kata Perry dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Senin (21/11/2022).
Perry menegaskan, bauran kebijakan moneter yang ditempuh BI saat in menyasar untuk menciptakan stabilitas serta mengendalikan inflasi yang berasal dari barang impor yang memang tergantung permintaan.
Ditambah lagi, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksikan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya pada 14 Desember 2022. Jika mengacu pada FedWatch, sebanyak 75,8% analis memprediksikan bahwa Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 50 bps dan mengirim tingkat suku bunga Fed menjadi 4,25%- 4,5% di akhir tahun ini.
Jika Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya, bukan hal yang tidak mungkin jika BI juga akan mengekor bank sentral dunia tersebut untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya demi menjaga nilai tukar rupiah agar tidak terlalu tertekan terhadap dolar AS.
Kenaikan suku bunga acuan tersebut tentunya berdampak negatif untuk sektor properti karena dapat meningkatkan suku bunga pinjaman khususnya KPR dan berpotensi menurunkan permintaan terhadap properti.
Selain itu, berakhirnya insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) pada September 2022 lalu turut menjadi beban pada sektor properti.
Selama ini, besaran diskon PPN DTP yang berlaku yakni 50 persen atas penjualan rumah maksimal Rp 2 miliar dan 25 persen untuk penjualan di atas Rp 2-5 miliar. Padahal, insentif tersebut dinilai cukup efektif untuk mendorong percepatan pemulihan sektor properti tahun ini.
Selanjutnya, Indonesia akan memasuki tahun politik tahun depan sebab ada pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden pada 2024. Tahun politik dikhawatirkan banyak pembeli menyurutkan investasi, termasuk di sektor properti. Sebab, investor dan pembeli properti akan cenderung wait and see terkait arah politik ke depan.
Di sisi lain, sektor properti masih diberikan kebijakan pelonggaran rasio loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) untuk KPR pembiayaan properti hingga 31 Desember 2023. Artinya, seluruh kebutuhan dana dalam memperoleh kredit properti ditanggung oleh bank, konsumen tidak perlu membayar uang muka. Sehingga, harapannya kebijakan pelonggaran tersebut masih dapat menjaga permintaan properti hingga tahun depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)[Gambas:Video CNBC]