CNBC Indonesia Research

Rupiah Jadi Terburuk di Asia Jika BI Tak Intervensi Masif?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 November 2022 08:30
Perry Warjiyo, Bank Indonensia. (Tangkapan layar Youtube Komisi XI DPR RI Channel)
Foto: Perry Warjiyo, Bank Indonensia. (Tangkapan layar Youtube Komisi XI DPR RI Channel)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sudah melemah dalam 6 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin kemarin. Mengakhiri perdagangan di Rp 15.710/US$, rupiah kembali mendekati level terlemah dua setengah tahun Rp 15.745/US$ yang dicapai pada 4 November lalu.

Sepanjang tahun ini rupiah tercatat melemah lebih dari 9%, beberapa mata uang Asia lainnya pelemahnya lebih parah.

Bank Indonesia (BI) mengungkap melakukan intervensi yang besar guna menstabilkan nilai tukar rupiah.

"Kami intervensi dalam jumlah yang besar. Cadangan devisa kami turun dari US$ 139,9 miliar menjadi sekitar US$ 130,1 miliar," papar Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (21/11/2022).

Artinya, untuk melakukan intervensi demi stabilitas rupiah, BI menghabiskan cadangan devisa sebesar US$ 8,8 miliar.

Berdasarkan catatan Tim Riset CNBC Indonesia, hingga Oktober cadangan devisa sudah mengalami penurunan 7 bulan beruntun.

Bahkan, jika dilihat sejak mencapai Rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar pada September lalu, nilainya sudah turun US$ 16,7 miliar.

Dengan intervensi yang besar, rupiah masih melemah cukup tajam sepanjang tahun ini. Lalu, seandainya tidak melakukan intervensi, rupiah bisa menjadi yang terburuk di Asia?

Seandainya BI tidak melakukan intervensi yang besar, rupiah bisa menjadi yang terburuk di Asia?

Nyatanya, hampir semua bank sentral juga melakukan intervensi guna menstabilkan mata uangnya. Bank sentral India misalnya, sejak perang Rusia-Ukraina meletus hingga Oktober lalu, cadangan devisanya merosot hingga US$ 100 miliar.

"Ekonomi global sedang menghadapi badai yang baru," kata Shaktikanta Das, gubernur bank sentral India pada akhir Oktober lalu, sebagaimana dilansir New York Times.

Intervensi yang dilakukan sekitar 10 kali lipat ketimbang BI. Nilai tukar rupee masih tetap merosot 8% sepanjang tahun ini.

Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia dan Thailand sudah mengungkapkan melakukan intervensi mata uang.

Pada periode yang sama dengan India, cadangan devisa Korea Selatan juga menyusut sekitar US$ 47 miliar, menjadi US$ 414 miliar pada akhir Oktober.

Cadangan devisa Malaysia juga mengalami penurunan sekitar US$ 10 miliar, menjadi US$ 105 miliar.

Pemerintah Jepang juga tidak ketinggalan, melakukan intervensi untuk pertama kalinya sejak 1998 guna meredam kemerosotannya. Bahkan Kementerian Keuangan Jepang melaporkan pada Oktober lalu menggelontorkan US$ 43 miliar untuk meredam kemerosotan yen yang menyentuh level terlemah sejak 1990.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kenaikan Suku Bunga Juga Tak Mampu Dongkrak Mata Uang

BI pertama kali menaikkan suku bunga pada Agustus lalu, sementara bank sentral AS (The Fed) sudah lebih dulu pada Maret. BI memang belakangan menaikkan suku bunga, tetapi bukan berarti ketika lebih dulu atau ahead the curve, rupiah akan mampu menguat.

Beberapa bank sentral lainnya sudah lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed, bahkan sudah sejak akhir tahun lalu.

Bank sentral Korea (Bank of Korea/BoK) misalnya, sudah menaikkan suku bunga sejak Agustus 2021 lalu. Hingga Oktober lalu, BoK sudah menaikkan suku bunga sebanyak 8 kali dengan total 250 basis poin menjadi 3%.

Namun, langkah tersebut tidak cukup membuat mata uang won menguat. Sebaliknya malah menjadi salah satu yang terburuk di Asia.

Sepanjang tahun ini pelemahnnya sekitar 12%, bahkan sempat hingga 20% pada akhir Oktober lalu di kisaran KRW 1.445/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak Maret 2009.

Artinya, suku bunga lebih cepat dinaikkan bukan jaminan bisa mendongkrak kinerja mata uang.

Faktanya, berdasarkan data dari Refinitiv, hanya 3 mata uang di dunia yang mampu menguat melawan dolar AS di tahun ini, rubel Rusia, peso Meksiko, dan real Brasil.

Dua negara yang disebutkan terakhir suku bunganya sudah dobel digit, masing-masing 10% dan 13,75%.

Brasil sudah menaikkan suku bunga sejak Maret 2021 lalu dari 2%. Kali terakhir suku bunga dinaikkan pada Agustus lalu sebesar 50 basis poin. Artinya bank sentral Brasil sejak kuartal I-2021 sudah menaikkan suku bunga sebesar 1175 basis poin.

Kenaikan tersebut tentunya jauh dari The Fed yang sejauh ini menaikkan 375 basis poin. Sementara bank sentral lainnya, meski lebih dulu menaikkan suku bunga, tetapi lebih rendah ketimbang The Fed.

Kenaikan sangat agresif yang dilakukan bank sentral Brasil membuat yield obligasi tenor 10 tahun melesat ke atas 13%, yang tentunya menjadi atraktif bagi investor asing untuk mengalirkan modalnya ke Brasil.

Bandingkan dengan yield Treasury AS yang saat ini berada di kisaran 3,8%, selisihnya sangat lebar. Sementara negara-negara lainnya, termasuk Indonesia selisihnya semakin menyempit.

Hal ini memicu aksi carry trade, di mana pelaku pasar meminjam dolar AS dan menginvestasikannya di obligasi Brasil. Mata uang real pun menjadi perkasa, sepanjang tahun ini menguat sekitar 4% melawan dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular