CNBC Indonesia Research

BI 4 Kali Kerek Bunga, Rupiah Tetap Keok! Apa yang Kurang?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 November 2022 17:15
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 4 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (17/11/2022). Padahal, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 5,25%.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar50 menjadi 5,25%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (17/11/2022).

Adapun suku bunga deposit facility menjadi 4,5% dan suku bunga lending facility sebesar menjadi 6%.

Dengan demikian, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps hanya dalam waktu 4 bulan beruntun. BI juga menaikkan suku bunga dengan cukup agresif, 50 basis poin dalam 3 bulan beruntun.

Langkah BI tersebut belum mampu mendongkrak kinerja rupiah. Pada perdagangan Kamis (17/11/2022) rupiah melemah 0,38% ke Rp 15.660/US$. Sepanjang tahun ini rupiah tercatat melemah sekitar 9%.


Bank Indonesia Terlambat Kerek Suku Bunga?

BI pertama kali menaikkan suku bunga pada Agustus lalu, sementara bank sentral AS (The Fed) sudah lebih dulu pada Maret. BI memang belakangan menaikkan suku bunga, tetapi bukan berarti ketika lebih dulu atau ahead the curve, rupiah akan mampu menguat.

Beberapa bank sentral lainnya sudah lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed, bahkan sudah sejak akhir tahun lalu.

Bank sentral Korea (Bank of Korea/BoK) misalnya, sudah menaikkan suku bunga sejak Agustus 2021 lalu. Hingga Oktober lalu, BoK sudah menaikkan suku bunga sebanyak 8 kali dengan total 250 basis poin menjadi 3%.

Namun, langkah tersebut tidak cukup membuat mata uang won menguat. Sebaliknya malah menjadi salah satu yang terburuk di Asia.

Sepanjang tahun ini pelemahnnya sekitar 10%, bahkan sempat hingga 20% pada akhir Oktober lalu di kisaran KRW 1.445/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak Maret 2009.

Ada lagi Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang sudah menaikkan suku bunga sejak Desember 2021. Sepanjang tahun ini nyatanya kurs poundsterling merosot lebih dari 12%. Bahkan pada 26 September lalu sempat menyentuh GBP 1,0382/US$ yang merupakan rekor terlemah sepanjang sejarah.

Otoritas Moneter Singapura juga sudah mengetatkan kebijakan moneternya sejak Oktober tahun lalu, dolar Singapura sepanjang tahun ini tercatat masih melemah sekitar 1,6%

Bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) menaikkan suku bunga di bulan yang sama dengan The Fed, juga sangat agresif. Suku bunga BoC saat ini sebesar 3,75% dari sebelumnya 0,25%. Dolar Kanada pun masih melemah sekitar 5% melawan dolar AS.

Artinya, menaikkan suku bunga lebih dulu ketimbang The Fed tidak akan menjamin mata uang mampu menguat. Faktanya, berdasarkan data dari Refinitiv, hanya 3 mata uang di dunia yang mampu menguat melawan dolar AS di tahun ini, rubel Rusia, peso Meksiko, dan real Brasil.

Dua negara yang disebutkan terakhir suku bunganya sudah dobel digit, masing-masing 10% dan 13,75%.

Brasil sudah menaikkan suku bunga sejak Maret 2021 lalu dari 2%. Kali terakhir suku bunga dinaikkan pada Agustus lalu sebesar 50 basis poin. Artinya bank sentral Brasil sejak kuartal I-2021 sudah menaikkan suku bunga sebesar 1175 basis poin.

Kenaikan tersebut tentunya jauh dari The Fed yang sejauh ini menaikkan 375 basis poin. Sementara bank sentral lainnya, meski lebih dulu menaikkan suku bunga, tetapi lebih rendah ketimbang The Fed.

Kenaikan sangat agresif yang dilakukan bank sentral Brasil membuat yield obligasi tenor 10 tahun melesat ke atas 13%, yang tentunya menjadi atraktif bagi investor asing untuk mengalirkan modalnya ke Brasil.

Bandingkan dengan yield Treasury AS yang saat ini berada di kisaran 3,7%, selisihnya sangat lebar. Sementara negara-negara lainnya, termasuk Indonesia selisihnya semakin menyempit.

Hal ini memicu aksi carry trade, di mana pelaku pasar meminjam dolar AS dan menginvestasikannya di obligasi Brasil. Mata uang real pun menjadi perkasa.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasokan Valuta Asing di RI Tiris

Pasokan valuta asing, khususnya dolar AS yang tiris di dalam negeri menjadi salah satu penyebab loyonya rupiah. Ketika jumlah dolar di dalam negeri bekurang, dan permintaannya tinggi, harganya tentunya akan menanjak.

Masalah kelangkaan dolar AS ini juga diungkapkan langsung oleh Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti dalam pengumuman hasil RDG hari ini.

"Apa yang terjadi di global saat ini memang dolar shortage, dalam kondisi di mana fed fund rate (suku bunga The Fed) terus mengalami peningkatan kemudian bond yield-nya tingginya sehingga mendorong arus balik dari US$ dollar dari beberapa negara emerging market termasuk Indonesia," kata Destry.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang tahun ini hingga 11 November, tercatat capital outflow di pasar obligasi sekitar Rp 160 triliun.

Selain capital outflow di pasar obligasi, devisa hasil ekspor yang tidak bertahan lama di dalam negeri juga membuat pasokan dolar AS menurun. Hal ini menjadi ironi mengingat neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus dalam 30 bulan beruntun.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari - Oktober neraca perdagangan mencatat surplus sebesar US$ 45,5 miliar.

Salah satu penyebab devisa tersebut tidak berada di dalam negeri yakni suku bunga valas yang kurang kompetitif. Eksportir pun lebih memilih menempatkan dolar-nya di luar negeri.

Destry juga mengakui devisa tersebut banyak yang parkir di luar negeri.

"Kepatuhan para eksportir untuk menempatkan dananya di rekening khusus sudah sangat baik, kurang lebih 93% itu kita sudah bisa men-trace dana tersebut dari hasil ekspor dengan menggunakan dokumen dari bea cukai. Nah, masalahnya dana tersebut tidak dalam berada di rekening khusus tersebut," kata Destry.

Destry menambahkan suku bunga yang kalah kompetitif menjadi masalah yang membuat eksportir banyak memarkir dolarnya di luar negeri.

"Kami lihat dan kami coba telaah, ternyata reward-nya itu atau pun interest rate kalah kompetitif, jadi sebenarnya masalah kompetisi. Pada kondisi normal mungkin diberikan rate relatif di bawah peer kita relatif masih oke, tetapi dengan kondisi sekarang pada saat dolar itu menjadi shortage dan negara-negara lain juga berusaha untuk menarik dolar sehingga dengan rate yang diberikan oleh perbankan saat ini menjadi tidak kompetitif," tambahnya.

Ia menambahkan BI bersama kementerian, lembaga dan perbankan mencoba program khusus yang menarik bagi eksportir guna mau menempatkan valuta asingnya di dalam negeri.

Akibat dolar AS yang parkir di luar negeri, cadangan devisa Indonesia terus mengalami penurunan.

BI melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Oktober 2022 sebesar US$ 130,2 miliar, turun US$ 600 juta dibandingkan dengan posisi pada akhir September 2022.

Cadangan devisa sudah menurun dalam 7 bulan beruntun. Bahkan, jika dilihat sejak mencapai Rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar pada September lalu, nilainya sudah turun US$ 16,7 miliar.

Terpuruknya rupiah membuat BI banyak melakukan intervensi, sehingga cadangan devisa terkuras.

Pemerintah pada September lalu sudah menerbitkan global bond senilai US$2,65 miliar, yang tentunya bisa mendongkrak cadangan devisa. Nyatanya, masih saja tetap merosot.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, tanggal setelmen penerbitan global bond pada 20 September.

Nyatanya, pada September cadangan devisa Indonesia masih tetap turun US$ 1,4 miliar. Artinya, kebutuhan untuk menjaga stabilitas rupiah sangat besar.

Jika BI mampu menarik dolar AS eksportir yang berada di luar negeri, cadangan devisa tentunya akan kembali berdampak. Pasokan dolar AS di dalam negeri bertambah, harganya bisa menurun, artinya rupiah akan menguat.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular