CNBC Indonesia Research

Dari Terra Hancur Hingga FTX Bangkrut, Kripto Bakal Punah?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
21 November 2022 15:25
Gambar Cover, Cryptocurrency Ambrol
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar kripto kembali menghadapi cobaan yang cukup berat di mana krisis kembali menimpa perusahaan kripto, kali ini bursa kripto terbesar kedua yakni FTX.

Krisis kripto sejatinya sudah terjadi sejak Mei lalu, di mana awal mulanya yakni jatuhnya koin (token) besutan Terraform Labs, LUNA dan TerraUSD.

Namun, sebelum adanya kejatuhan dua token Terra tersebut, pasar kripto sudah membentuk tren bearish sejak awal tahun ini, di mana pembentukan tren ini dikarenakan psikologis investor yang khawatir dengan kondisi global, meski pemulihan dimulai pada awal tahun ini.

Kebijakan bank sentral, terutama di Amerika Serikat (AS) yang tak lagi menerapkan easy money policy membuat investor di kripto mulai selektif untuk berinvestasi di aset berisiko.

Di tambah, kekhawatiran investor makin terjadi setelah dimulainya perang antara Rusia-Ukraina. Sehingga investor makin selektif dan berhati-hati dalam berinvestasi di pasar kripto.

Dampaknya adalah mulai adanya penarikan dana investor menjelang Mei 2022 dan menyebabkan token duo Terra pun tak mampu bertahan di tengah derasnya penarikan atau dapat disebut sebagai bankrun.

Token Terra versi altcoin, yakni LUNA merupakan aset kripto proyek berbasis blockchain yang dikembangkan oleh Terraform Labs di Korea Selatan.

Terra memiliki ambisi sebagai platform yang menciptakan stablecoin yang dikaitkan dengan uang resmi yang diterbitkan oleh bank sentral. Tujuannya untuk mendukung sistem pembayaran global dengan settlement yang cepat dan terjangkau seperti contohnya Alipay di blockchain. Pengembang menawarkan target satu koin senilai US$ 1.

LUNA memiliki peran yang vital untuk menstabilkan harga dari stablecoin yang ada di ekosistem Terra dan mengurangi volatilitas pasar. Ketika UST turun sedikit maka LUNA akan dijual atau dibakar (burn) untuk menstabilkan harga.

UST merupakan stablecoin algoritmik. Alih-alih memiliki uang tunai dan aset riil lainnya yang disimpan sebagai cadangan untuk mendukung token, proyek ini menggunakan campuran kode yang komplek dan LUNA untuk menstabilkan harga

Sebelum ada penarikan besar-besaran, kedua token tersebut sempat menunjukkan eksistensinya dengan menyentuh rekor tertinggi (all time high). Untuk LUNA (kini LUNC), ATH-nya berada di kisaran US$ 116,42 per keping yang terbentuk pada 5 April lalu.

Namun pada 13 Mei lalu, harganya tiba-tiba anjlok hingga menyentuh kisaran US$ 0,006 per keping, jauh dari satu sen pun.

Kejatuhan LUNC bukanlah tanpa penyebab. Hal ini dikarenakan UST (kini USTC) tak mampu mempertahankan base-nya di US$ 1. Pada 10 Mei, kejatuhan USTC pun dimulai dan puncaknya terjadi pada 26 Juni lalu, di mana harganya menyentuh kisaran US$ 0,008 per keping, jauh dari US$ 1.

Saat USTC tak mampu menjalankan fungsi utamanya, sister coin yakni LUNA terpaksa harus di burn, agar USTC mampu kembali ke pasaknya di US$ 1. Namun hal ini pada akhirnya tidak mampu menyelamatkan USTC dan keduanya justru makin ambruk.

Terra telah melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan keduanya, di mana salah satunya membuat token baru, di mana token lama dilabeli classic, sehingga kodenya pun berubah.

Namun, langkah ini tidak membuat investor kembali percaya terhadap LUNA, UST, maupun Terra. Kepercayaan investor pun telah memudar.

Setelah sekitar satu bulan akibat kejatuhan Terra, mulai banyak perusahaan kripto yang terdampak dari kejatuhan tersebut, di mana kebanyakan mengalami krisis likuiditas akibat banyak yang tidak memenuhi kewajibannya.

Apalagi, banyak perusahaan kripto yang memiliki eksposur Terra, sehingga hal ini dapat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan kripto.

'Pasien' pertama dari korban Terra yakni Celsius Networks, sebuah perusahaan peminjaman kripto asal Amerika Serikat (AS).

Pada 13 Juni lalu, Celsius mengumumkan bahwa mereka menangguhkan semua penarikan pada platform pinjamannya, dengan alasan kondisi pasar ekstrem dan kebutuhan untuk menstabilkan likuiditas.

Beberapa jam setelah pengumuman tersebut, token asli (native) Celsius (CEL) anjlok 70% dalam satu jam perdagangan.

Tepat satu bulan kemudian, yakni pada 13 Juli 2022, Celsius Network mengajukan pailit atau kebangkrutan berdasarkan Chapter 11 ke pengadilan di Distrik Selatan New York.

Celcius menyatakan keputusan ini demi kepentingan komunitas yang merupakan prioritasnya dan akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memenuhi kewajibannya terhadap nasabah.

Celcius berada dalam bawah tekanan yang hebat setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) secara agresif menaikkan suku bunga yang membuat sentimen risiko menjadi negatif. Selain itu, krisis Celsius juga disebabkan karena efek dari kejatuhan Terra.

Meski menjadi korban pertama dari kejatuhan Terra, tetapi Celsius menjadi perusahaan kesekian yang mengajukan kebangkrutan Chapter 11. Adapun perusahaan pertama yang mengajukan kebangkrutan Chapter 11 yakni Three Arrows Capital (3AC).

3AC merupakan perusahaan lindung nilai (hedge fund) kripto yang bermarkas di Singapura. 3AC didirikan pada tahun 2012 oleh Su Zhu dan Kyle Davies.

Perusahaan juga menawarkan investasi seperti ekuitas, dana platform, keuangan terdesentralisasi (desentralized finance/DeFi), base layer, dan lain-lainnya.

Perusahaan telah menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa sejak awal beroperasi dengan rencana jangka panjang yang ambisius untuk menumbuhkan alfa dalam kompetensi inti perusahaan. Adapun dalam pernyataan publik terakhirnya, nilai aset bersih 3AC mencapai US$ 18 miliar.

Namun, kejatuhan Terra dan krisis kripto membuat 3AC terpaksa untuk berakhir cepat. 3AC mulai mengalami masalah pendanaan, di mana pihaknya tidak dapat memenuhi kewajibannya yakni membayar utang kepada krediturnya.

Bahkan, 3AC sempat dinyatakan default atau gagal bayar oleh krediturnya yakni Voyager Digital, yang juga telah dinyatakan pailit.

Three Arrows Capital gagal memenuhi kewajiban pinjamannya senilai lebih dari US$ 670 juta atau sekitar Rp 9,93 triliun (asumsi kurs Rp 14.825/US$) kepada Voyager.

Adapun kewajiban tersebut yakni sebesar US$ 350 juta (Rp 5,19 triliun) dalam bentuk stablecoin USD Coin (USDC) dan sebanyak 15.250 Bitcoin yang dipatok dolar AS dengan nilainya sekitar US$ 323 juta (Rp 4,79 triliun).

Karena 3AC tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Voyager, pada akhirnya Voyager pun menjadi perusahaan kripto pertama yang mengajukan kebangkrutan Chapter 11 di New York, AS, tepatnya pada 6 Juli lalu, atau sepekan sebelum Celsius mengajukan hal yang sama.

Sekitar 4 bulan kemudian, bursa kripto FTX mendapat giliran menjadi korban krisis kripto dan tentunya kejatuhan Terra, meski dari krisis Terra berdampak secara tidak langsung.

Pada 12 November lalu, FTX pun mengajukan kebangkrutan Chapter 11, setelah perusahaan dan afiliasinya kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.

Dalam 23 halaman pengajuan kepailitan yang diperoleh CNBC International, FTX menunjukkan memiliki lebih dari 100 ribu kreditur, aset dalam kisaran US$ 10 miliar - 50 miliar, serta kewajiban dalam kisaran US$ 10 miliar - 50 miliar.

Krisis FTX juga bukanlah tanpa sebab, kejatuhan native token FTX, yakni FTX Token (FTT) menjadi salah satu pemicunya, di mana kejatuhan FTT juga diakibatkan oleh adanya penarikan besar-besaran atau bankrun.

Bahkan, krisis FTX layaknya menjadi seperti 3AC dan Celsius, di mana perusahaan afiliasi FTX mulai terdampak. Adapun perusahaan tersebut yakni BlockFi, Genesis, dan Gemini.

Banyak orang yang pada tahun lalu percaya bahwa kripto bakal menjadi aset investasi masa depan dan banyak juga yang memburunya. Namun kini justru sebaliknya, di mana banyak orang mulai tak percaya keamanan kripto dan prospek di masa depan.

Penganut 'anti' kripto banyak yang memprediksi bahwa masa depan kripto bakal suram. Apalagi, dengan adanya potensi resesi global yang terjadi pada tahun depan, semakin menguatkan penganut tersebut memprediksi bahwa kripto tidak dapat diselamatkan.

Salah satunya yakni Schiff, CEO dari Euro Pacific Capital, yang menyebut kripto akan punah. Bahkan, kini kripto bukan lagi menghadapi crypto winter atau musim dingin kripto.

"Ini bukan crypto winter, juga bukan jaman es. Ini adalah kepunahan kripto," kata Schiff dalam kicauannya di Twitter, sebagaimana dikutip Yahoo Finance.

Namun, bagi pendukung kripto, krisis yang terjadi saat ini hanya bersifat sementara dan di masa depan bakal kembali bangkit.

Salah satu pendukung kripto yakni Robert Kiyosaki, penulis buku "Rich Dad, Poor Dad". Meski dia menjadi salah satu pendukung kripto, tetapi dia juga memprediksi bahwa Bitcoin dapat menembus level psikologis US$ 10.000. Namun, tidak diketahui kapan Bitcoin dapat menyentuh level tersebut.

Dalam curiannya di Twitter, Kiyosaki mengaku dirinya tidak menanti pembalikan arah Bitcoin berdasarkan kapitalisasi pasar karena dia merupakan investor Bitcoin jangka panjang daripada seorang trader.

Kiyosaki optimis titik terendah baru akan datang untuk Bitcoin dan bisa mencapai posisi US$ 10.000. Dia mengatakan jika itu terjadi, dia akan bersemangat tentang hal itu daripada gugup.

Sebelumnya, Kiyosaki mengatakan dia bullish pada Bitcoin karena dana pensiun yang disponsori negara mulai berinvestasi di Bitcoin.

"Mengapa membeli emas, perak, Bitcoin? Pivot Bank of England berarti membeli lebih banyak GSBC. Ketika dana pensiun hampir ambruk, Bank Sentral tidak dapat memperbaikinya...INFLASI. Pensiun selalu berinvestasi di G&S (emas dan perak). Dana pensiun sekarang berinvestasi di Bitcoin. Mereka tahu Fake $, saham & obligasi adalah roti panggang," katanya dalam tweet.

Selama wawancara pada Mei lalu, Kiyosaki mengatakan bahwa kenaikan inflasi, kekurangan jaminan sosial, dan pendanaan perawatan kesehatan adalah faktor utama yang mempengaruhi perekonomian.

Terlepas dari perbedaan pendapat terkait punahnya kripto, namun dari sisi transaksi, sejatinya pasar kripto masih cukup baik kali ini.

Pada Sabtu lalu, data dari pelacak arus investor ritel, Vanda Research menunjukkan bahwa arus masuk ke saham terkait kripto dan ETF dalam lima hari setelah keruntuhan FTX mencapai US$ 27 juta, atau rata-rata harian US$ 5,4 juta. Angka itu turun dari rata-rata harian tahun ini sebesar US$ 14,4 juta.

Yang lebih luar biasa, karena Bitcoin telah anjlok 75% dari level tertinggi sepanjang masa pada November tahun lalu, Vanda mengatakan investor ritel menggelontorkan US$ 3,7 miliar ke dalam aset dan dana terkait kripto.

Banyak yang mengatakan cryptocurrency adalah masa depan uang, memberdayakan individu, menawarkan kebebasan finansial dan pembebasan dari kontrol pemerintah dan bank sentral. Teknologi mutakhir juga memungkinkan pembayaran yang cepat dan aman.

Gelembung (bubble) yang meningkat pasca-pandemi, bagaimanapun, adalah hasil dari sesuatu yang lain yakni kegilaan spekulatif klasik, 'FOMO' (takut ketinggalan) yang berkembang dengan sendirinya saat harga melonjak.

Jutaan orang memasukkan miliaran dolar ke dalam pasar yang telah lama dikritik karena FOMO, kurangnya pengawasan, dan sifatnya yang sangat spekulatif dengan harapan cepat kaya.

Akan tetapi baru-baru ini pasar kripto telah terguncang. Anthony Scaramucci, pendiri Skybridge Capital, perusahaan tempat FTX baru-baru ini membeli 30% sahamnya, mengatakan industri ini akan bertahan dan berkembang, tetapi minggu lalu mungkin merupakan masa terberat dalam kariernya.

Sehingga tampaknya meskipun ada aliran dana masuk, masih belum mampu melawan pesimisme investor yang akhirnya membawa kabur dana dari kripto. Apalagi di tengah keadaan ekonomi global yang tidak stabil.

Lalu bagaimana kripto di masa depan? Akankah memang menjadi aset masa depan atau justru punah? Kita liat saja nanti.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular