Parah! Rupiah Melemah 5 Hari Beruntun

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 November 2022 15:08
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (18/11/2022). Dengan demikian, rupiah membukukan pelemahan 5 hari beruntun.

Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.685/US$, melemah 0,16% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Dalam sepekan, rupiah tercatat melemah 1,26%. Mata uang Garuda kembali mendekati level terlemah dalam dua setengah tahun terakhir di Rp 15.745/US$ yang dicapai pada 4 November lalu.

Rupiah melemah meski Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar50 menjadi 5,25%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (17/11/2022).

Adapun suku bunga deposit facility menjadi 4,5% dan suku bunga lending facility sebesar menjadi 6%.

Dengan demikian, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps hanya dalam waktu 4 bulan beruntun. BI juga menaikkan suku bunga dengan cukup agresif, 50 basis poin dalam 3 bulan beruntun.

Langkah BI tersebut belum mampu mendongkrak kinerja rupiah.

Bank Indonesia Terlambat Kerek Suku Bunga?

BI pertama kali mengaikan suku bunga pada Agustus lalu, sementara bank sentral AS (The Fed) sudah lebih dulu pada Maret. BI memang belakangan menaikkan suku bunga, tetapi bukan berarti ketika lebih dulu atau ahead the curve, rupiah akan mampu menguat.

Beberapa bank sentral lainnya sudah lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed, bahkan sudah sejak akhir tahun lalu.

Bank sentral Korea (Bank of Korea/BoK) misalnya, sudah menaikkan suku bunga sejak Agustus 2021 lalu. Hingga Oktober lalu, BoK sudah menaikkan suku bunga sebanyak 8 kali dengan total 250 basis poin menjadi 3%.

Namun, langkah tersebut tidak cukup membuat mata uang won menguat. Sebaliknya malah menjadi salah satu yang terburuk di Asia.

Sepanjang tahun ini pelemahnnya sekitar 10%, bahkan sempat hingga 20% pada akhir Oktober lalu di kisaran KRW 1.445/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak Maret 2009.

Ada lagi Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang sudah menaikkan suku bunga sejak Desember 2021. Sepanjang tahun ini nyatanya kurs poundsterling merosot lebih dari 12%. Bahkan pada 26 September lalu sempat menyentuh GBP 1,0382/US$ yang merupakan rekor terlemah sepanjang sejarah.

Otoritas Moneter Singapura juga sudah mengetatkan kebijakan moneternya sejak Oktober tahun lalu, dolar Singapura sepanjang tahun ini tercatat masih melemah sekitar 1,6%

Bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) menaikkan suku bunga di bulan yang sama dengan The Fed, juga sangat agresif. Suku bunga BoC saat ini sebesar 3,75% dari sebelumnya 0,25%. Dolar Kanada pun masih melemah sekitar 5% melawan dolar AS.

Artinya, menaikkan suku bunga lebih dulu ketimbang The Fed tidak akan menjamin mata uang mampu menguat. Faktanya, berdasarkan data dari Refinitiv, hanya 3 mata uang di dunia yang mampu menguat melawan dolar AS di tahun ini, rubel Rusia, peso Meksiko, dan real Brasil.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasokan Valuta Asing Tiris, Rupiah Tertekan

Pasokan valuta asing, khususnya dolar AS yang tiris di dalam negeri menjadi salah satu penyebab loyonya rupiah. Ketika jumlah dolar di dalam negeri berkurang, dan permintaannya tinggi, harganya tentunya akan menanjak.

Masalah kelangkaan dolar AS ini juga diungkapkan langsung oleh Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti dalam pengumuman hasil RDG hari ini.

"Apa yang terjadi di global saat ini memang dolar shortage, dalam kondisi di mana fed fund rate (suku bunga The Fed) terus mengalami peningkatan kemudian bond yield-nya tingginya sehingga mendorong arus balik dari US$ dollar dari beberapa negara emerging market termasuk Indonesia," kata Destry.

Salah satu penyebab devisa tersebut tidak berada di dalam negeri yakni suku bunga valas yang kurang kompetitif. Eksportir pun lebih memilih menempatkan dolar-nya di luar negeri.

Destry juga mengakui devisa tersebut banyak yang parkir di luar negeri.

"Kepatuhan para eksportir untuk menempatkan dananya di rekening khusus sudah sangat baik, kurang lebih 93% itu kita sudah bisa men-trace dana tersebut dari hasil ekspor dengan menggunakan dokumen dari bea cukai. Nah, masalahnya dana tersebut tidak dalam berada di rekening khusus tersebut," kata Destry.

Destry menambahkan suku bunga yang kalah kompetitif menjadi masalah yang membuat eksportir banyak memarkir dolarnya di luar negeri.

"Kami lihat dan kami coba telaah, ternyata reward-nya itu atau pun interest rate kalah kompetitif, jadi sebenarnya masalah kompetisi. Pada kondisi normal mungkin diberikan rate relatif di bawah peer kita relatif masih oke, tetapi dengan kondisi sekarang pada saat dolar itu menjadi shortage dan negara-negara lain juga berusaha untuk menarik dolar sehingga dengan rate yang diberikan oleh perbankan saat ini menjadi tidak kompetitif," tambahnya.

Ia menambahkan BI bersama kementerian, lembaga dan perbankan mencoba program khusus yang menarik bagi eksportir guna mau menempatkan valuta asingnya di dalam negeri.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular