CNBC Indonesia Research

Gempa Pasar Kripto & Saga FTX-Alameda Sam Bankman-Friend

Feri Sandria, CNBC Indonesia
15 November 2022 14:25
Sam Bankman-Field. (Dok: AP Photo/Matt York)
Foto: Sam Bankman-Field. (Dok: AP Photo/Matt York)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar kripto yang sempat semringah selama masa pandemi, karena dukungan kebijakan moneter lemah dan membludaknya peredaran uang murah, tahun ini mulai goyah. Harga koin dan aset kripto yang sempat meroket banyak yang telah terjun bebas. Pasar NFT yang sempat membuat heboh, kini mulai sepi dengan harga asetnya mendingin secara cepat. Dan yang paling parah adalah satu demi satu skandal yang menguak ke publik, mulai dari koin luna hingga yang terbaru kebangkrutan bursa FTX milik Sam Bankman-Fried.

Tahun ini kripto menjadi salah satu pecundang utama di pasar keuangan. Kripto yang semula digadang-gadang dapat menjadi alternatif aset lindung nilai, nyatanya pergerakannya tidak sama dengan emas. Kripto gagal menguat dan malah terpuruk kala inflasi meningkat pesat.

Pergerakannya lebih mirip dengan saham, dengan kinerja yang jauh lebih buruk dari pasar ekuitas. Kripto dipandang oleh banyak investor sebagai aset dengan risiko dan volatilitas sangat tinggi - lebih dari saham. Alhasil kinerja semakin terpuruk pasca pengetatan kebijakan moneter yang ramai-ramai diambil nyaris seluruh bank sentral utama dunia.

Sebagai kelas aset yang relatif baru, skandal yang terjadi di pasar kripto ikut meningkatkan keraguan investor untuk mengoleksi aset berisiko ini, setidaknya dalam kondisi ekonomi berat saat ini.

Tahun 2022 skandal kripto besar paling awal dimulai dari gagalnya stablecoin algoritmik TerraUSD atau UST mempertahan nilai tukar US$ 1 yang menyebabkan ambruknya koin luna serta menyapu bersih kekayaan hingga US$ 40 miliar.

Imbasnya investor mulai panik dengan valuasi pasar kripto lenyap US$ 2 triliun dari posisi puncak November 2021 lalu. Sepinya pasar kripto, dengan harga koinnya yang nyungsep lalu menjadi petaka bagi kripto lender. Perusahaan yang menyediakan layanan pinjaman kripto mendapati bisnisnya tidak berkelanjutan karena kondisi pasar suram dan akhirnya mengalami gagal bayar atas bunga pinjaman tinggi dari koin deposit investor kripto. Skandal ini kemudian menyebabkan kebangkrutan pada sejumlah nama besar termasuk 3 Arrow Capital, Voyager dan Celcius.

Dalam kondisi pasar yang tegang, Sam Bankman-Fried atau yang juga kerap disapa dengan nama panggilan SBF muncul sebagai juru selamat.

Pria berusia 30 tahun yang tinggal di Bahama itu siap menjadi pemimpin dalam mengkonsolidasikan industri, mencoba menyelamatkan satu per satu perusahaan yang terdampak dengan menyediakan kredit pinjaman atau melakukan merencanakan upaya bail out. Secara bersamaan dirinya juga mengklaim FTX berada dalam posisi yang lebih baik daripada rekan-rekannya karena memiliku simpanan uang tunai jumbo, biaya operasional rendah dan menghindari pinjaman.

Dengan kekayaan bersih yang di atas kertas sempat membengkak hingga US$ 26 miliar, dia secara pribadi juga membeli 7,6% saham di perusahaan aplikasi trading saham Robinhood.

Karena kelincahannya dalam mengkonsolidasi dan menyediakan pinjaman bagi industri, SBF bahkan samapai dijuluki oleh beberapa orang sebagai "JPMorgan of crypto."

Lalu bagaimana bisa, pengusaha muda yang semula dibandingkan dengan raksasa keuangan seperti John Pierpont Morgan dan Warren Buffett ini membuat investor pasar kripto cemas, dan pada saat bersamaan kehilangan nyaris seluruh harta kekayaannya?

Kerajaan bisnis yang dibangun oleh SBF runtuh minggu lalu setelah penarikan besar-besaran membuat pertukaran crypto-nya, FTX, kekurangan dana US$ 8 miliar, memaksa perusahaan untuk menghentikan penarikan dana dan akhirnya mengajukan kebangkrutan.

Getahnya kemudian ikut menyebar ke seluruh industri, menimbulkan ketidakstabilan di perusahaan kripto lainnya dan menyebarkan ketidakpercayaan yang meluas.

Kerajaan bisnis SBF runtuh perlahan, lalu tiba-tiba lenyap seketika. Laporan dari situs berita kripto CoinDesk yang mengungkapkan sejauh mana Alameda terlibat dan bergantung pada token yang dibuat oleh FTX dan membuat banyak investor bertanya-tanya.

FTX merupakan bursa kripto dan menerbitkan koin native FTT, sedangkan Alemeda merupakan perusahaan trading kripto. Keduanya merupakan sister company yang dimiliki oleh SBF.

Kepanikan mulai terasa setelah pendiri Binance, pertukaran crypto terbesar, mengumumkan bahwa ia akan melepaskan ke pasar lebih dari US$ 500 juta nilai token FTT yang dimilikinya.

Cuitan Twitter dari Changpeng Zhao (CZ) tersebut akhirnya memobilisasi massa untuk menarik dananya di FTX, karena khawatir tinggi mengingat Binanca/CZ merupakan salah satu pemegang utama koin FTT yang diperkirakan mencapai 13,2%.

FTX terkapar karena krisis likuiditas. Dua hari kemudian, Binance membuat kesepakatan untuk membeli perusahaan rivalnya. Namun pada hari berikutnya, Zhao mundur dari kesepakatan dan membuat perusahaan Bankman-Fried benar-benar runtuh.

Rangkaian cuitan CZ akhirnya mampu membuat pasar takut. Dalam perjalanan kabur menarik depositonya, investor ikut menenggelamkan raksasa kripto yang sempat bernilai US$ 32 miliar dan mendorong perusahaan menuju kebangkrutan.

Sejumlah netizen ikut berspekulasi bahwa ada motif lain dibalik gagalnya kesepakatan bailout FTX oleh Binance, karena meski sama-sama titan di industri kripto, CZ dan SBF bukanlah aliansi kuat.

Berbeda dengan mayoritas pengusaha kripto yang ingin jauh-jauh dari pemerintah, SBF memiliki tujuan ambisius berbeda yakni untuk membentuk peraturan kripto di Washington, di mana ia bersaksi di depan Kongres dan bertemu langsung dengan regulator. Dia juga menggunakan pengaruhnya yang berkembang untuk mengkritik saingan terbesarnya, CZ.

Dalam wawancara dengan The New York Times, SBF menyebut bahwa menyerang CZ "bukanlah langkah strategis."

Sebelumnya CZ lewat cuitannya di Twitter mengatakan " kami tidak akan berpura-pura bercinta setelah bercerai," setelah mengumumkan pembatalan bailout.

"Kami tidak melawan siapa pun. Tapi kami tidak akan mendukung orang yang melobi pemain industri lain di belakang mereka."

Hubungan antara Alameda dan FTX adalah sumbu bagi meledaknya kerajaan bisnis kripto SBF. Alameda yang merupakan perusahaan perdagangan didirikan pada tahun 2017 dengan menyewa kantor di Berkeley, California, tidak jauh dari tempat tinggalnya yang merupakan anak dari akademisi Stanford. Kedua orang tuanya adalah profesor di Stanford Law School: Joseph Bankman, seorang ahli hukum pajak, dan Barbara Fried, yang mempelajari persimpangan hukum, ekonomi, dan filsafat.

SBF merupakan alumni jurusan fisika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan pasca lulus bekerja di raksasa perdagangan kuantitatif Jane Street.

Tidak lama setelah didirikan, Alameda segera menghasilkan jutaan dolar dengan mengeksploitasi ketidakefisienan di pasar Bitcoin. Dalam melaksanakan bisnisnya perusahaan secara masif menggunakan strategi arbitrase-membeli koin di satu lokasi dan menjualnya di tempat lain dengan harga lebih tinggi. Salah satu keuntungan signifikan awal melibatkan pembelian bitcoin di bursa AS dan penjualan di Jepang, di mana perusahaan mendapatkan keuntungan karena harga jual premium di atas harga beli di AS.

Pada tahun 2019, SBF memindahkan perusahaan ke Hong Kong, agar dapat memperoleh aturan yang lebih ramah bisnis. Dia pindah dengan sekelompok kecil pedagang - termasuk Caroline Ellison, mantan pedagang di perusahaan keuangan Jane Street - dan melanjutkan untuk memulai FTX, bursa bagi investor kripto untuk membeli, menjual, dan menyimpan aset digital.

Namun, kejatuhan pasar kripto baru-baru ini ternyata ikut membuat Alameda mengalami kerugian perdagangan. Laporan Coindesk dan cuitan CZ akhirnya menjadi katalis dan perlahan mengurai apa yang sebenarnya terjadi di antara Alameda dan FTX.

Usut punya usut, bursa kripto FTX milik SBF ternyata meminjamkan uang investor bernilai miliaran dolar untuk mendanai taruhan berisiko oleh perusahaan perdagangan afiliasinya, Alameda Research.

Laporan The Wall Street Journal (WSJ) berdasarkan keterangan sejumlah sumber mengungkapkan bahwa CEO FTX Sam Bankman-Fried mengatakan dalam pertemuan investor minggu lalu bahwa Alameda berhutang kepada FTX sekitar US$ 10 miliar.

FTX memberikan pinjaman kepada Alameda menggunakan uang yang disimpan pelanggan di bursa untuk tujuan perdagangan, sebuah keputusan yang digambarkan oleh SBF sebagai langkah buruk dan ceroboh.

Secara keseluruhan, FTX memiliki US$ 16 miliar aset pelanggan, berdasarkan keterangan sumber. Artinya FTX meminjamkan lebih dari setengah dana pelanggannya ke Alameda.

Alameda juga dikabarkan mengambil pinjaman tambahan dari perusahaan keuangan lain, dengan besaran utang sekitar US$ 1,5 miliar kepada rekanan di luar FTX.

Karena kerugian investasi Alemeda tidak mampu mengembalikan pinjaman FTX dan membuat batas penyangga penarikan deposito kian terbatas. FTX menghentikan penarikan pelanggan awal pekan lalu setelah diserbu dengan permintaan penarikan sekitar US$ 5 miliar pada hari Minggu, menurut cuitan Kamis pekan lalu oleh akun resmi pribadi SBF.

Caroline Ellison - yang juga alumni Jane Street - merupakan pemimpin Alameda dan dalam pertemuan dengan investor mengungkapkan bahwa selama beberapa bulan terakhir, Alameda telah mengambil pinjaman dan menggunakan uang itu untuk melakukan investasi modal ventura, di antara pengeluaran lainnya.

Sejumlah investor besar telah pasrah dan 'mengikhlaskan' kerugian atas investasinya di FTX. Perusahaan yang telah memberikan valuasi nol atas saham mereka (write off) di bursa kripto FTX termasuk Sequoia Capital (US$ 213 juta), Softbank (US$ 100) dan anak usaha Coinbase, perusahaan bursa kripto AS.

Saat ini saga kehancuran FTX-Alameda masih berlangsung, dengan SBF tengah diinvestigasi oleh Komite Bursa dan Departemen Kehakiman AS dan berpotensi didakwa pidana hingga masuk penjara. SBF diketahui tinggal dan mengoperasikan FTX-Alameda dari sebuah mansion di Kepulauan Bahama bersama sekitar sembilan orang terdekat yang merupakan eksekutif perusahaan, termasuk Caroline Ellison.

SBF dan Caroline sebelumnya pernah menjalin hubungan asmara namun saat ini telah berpisah, berdasarkan ketengan sumber dan dilaporkan oleh Coindesk dan The New York Times.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular