Beberapa pekan sebelumnya, Sam Bankman-Fried atau dipanggil SBF sempat dianggap sebagai calon pahlawan kripto karena bersedia menggelontorkan kekayaannya yang besar untuk menyelamatkan industri aset volatil tersebut.
Pria yang baru berusia 30 tahun tersebut secara vokal mendukung proyek-proyek kripto yang gagal termasuk BlockFi, Voyager Digital, dan Celsius.
Dia juga berinvestasi di Robinhood yang menimbulkan spekulasi tinggi bahwa dia akan mengambil alih perusahaan aplikasi perdagangan tersebut.
Spekulasi investor bukan tanpa alasan, mengingat tahun lalu dia pernah sesumbar dan mengatakan bahwa begitu FTX-nya cukup besar, bisa menyaingi CME Group, bursa berjangka terbesar dunia atau raksasa perbankan Amerika Serikat (AS), Goldman Sachs Group.
SBF juga siap mempertaruhkan kekayaannya hingga US$ 26 miliar (Rp 403 triliun) pada puncaknya untuk mengubah dunia, menyumbangkan jutaan untuk politik dan amal dan berjanji bahwa suatu hari dia akan memberikan semuanya harga kekayaannya untuk tujuan tersebut.
Dia juga berjanji untuk menghabiskan hingga US$ 1 miliar untuk mendukung kandidat politik yang selaras dengan misinya yang lebih luas untuk mempersiapkan pandemi di masa depan.
Bahkan, FTX pernah menjadi perusahaan yang memimpin akuisisi perusahaan kripto yang kini telah bangkrut yakni Voyager Digital.
Bankman-Fried menjelaskan bagaimana mereka memperpanjang napas perusahaan tersebut lewat dua dana talangan.
"Yang pertama adalah US$ 70 juta, kemudian US$ 70 juta lagi uang yang bisa mereka dapatkan dengan segera, tanpa pamrih," ujarnya.
Meski perusahaannya sendiri tengah menghadapi masa-masa sulit, tetapi SBF tetap ingin membantu industri kripto yang sedang kesulitan untuk menyelesaikan masalah.
SBF mengaku masih memiliki uang untuk mencaplok banyak perusahaan kripto di tengah anjloknya pasar mata uang digital itu.
Bankman-Fried mengatakan FTX masih memiliki dana US$ 1 miliar untuk digunakan akuisisi dan dana talangan.
Bankman-Fried mengatakan bahwa dalam jangka panjang, penting bagi ekosistem kripto untuk mencoba menemukan solusi.
Bahkan dalam wawancaranya dengan podcast GM Decrypt, dia mengatakan bahwa uang FTX senilai US$70 juta bisa jadi lenyap setelah digunakan untuk menalangi Voyager.
"Kami tidak merasa terlalu percaya diri untuk mendapatkannya kembali," terangnya.
Namun, menurut Bankman-Fried, FTX memilih menjadi juru selamat perusahaan kripto yang bangkrut karena tidak ada lagi orang yang bisa menolong mereka.
FTX telah menjadi pemain kunci dalam memperoleh proyek kripto yang berisiko gagal dan pasar yang sedang lesu. SBF menegaskan keputusannya untuk melakukan akuisisi dan menalangi perusahaan kripto lain yang sedang kesusahan, dan hal itu tidak mudah.
"Kami hanya memiliki beberapa hari untuk membuat keputusan ini," kata dia dalam wawancara dengan CNBC Internasional, dikutip Rabu (2/9/2022).
Dia menambahkan bahwa faktor kuncinya adalah mendukung para investor kripto dan memastikan mereka terlindungi serta menghentikan dampak agar tidak menyebar di ekosistem.
Kejatuhan Bitcoin, Ethereum, dan kripto lainnya dari Rabu kemarin hingga hari ini menandakan bahwa investor yang berinvestasi di aset kripto kembali khawatir bahwa masalah likuiditas FTX dan Alameda Research akan membuat kejadian Celsius dkk. kembali terulang.
Padahal beberapa hari sebelumnya, pasar kripto sedang berusaha untuk pulih dari keterpurukan. Investor juga sudah mulai mempercayakan kembali kripto sebagai alternatif investasi, meski kondisi global masih belum memungkinkan.
Kasus Celsius dkk terjadi juga diakibatkan oleh masalah likuiditas yang menggerogoti perusahaan kripto tersebut.
Sebelumnya pada 12 Juni lalu, Celsius Networks menangguhkan penarikan dan transaksi untuk 1,7 juta penggunanya, di mana hal ini karena kondisi pasar yang ekstrem. Tak hanya itu, Celsius juga telah memangkas karyawannya hingga sekitar 150 karyawan.
Pada Mei 2022, perusahaan telah meminjamkan lebih dari US$ 8 miliar kepada klien dan memiliki aset yang dikelola senilai US$ 12 miliar.
Kegiatan Celsius mirip dengan perusahaan perbankan atau perusahaan jasa keuangan. Bedanya, mereka beroperasi di 'zona abu-abu', di mana mereka terus beroperasi selama regulator belum serius memperketat izin operasi mereka.
Celsius menghimpun dana dari investor ritel dalam bentuk simpanan kripto, kemudian dana dari investor tersebut diinvestasikan di pasar kripto pada umumnya, termasuk ke dalam aset desentralized finance atau DeFi.
Parahnya, Celsius menjanjikan return pasti dan besar bagi pelanggan ritel, terkadang hingga mencapai 18,6% per tahun. Iming-iming return tersebut telah menyebabkan investor ritel berbondong-bondong memasukan dananya ke Celsius dan platform pinjaman kripto lainnya.
Namun, semenjak kasus kejatuhan token Terra, Celsius mulai menghadapi masalah keuangan, di mana mereka tidak mampu memenuhi kewajibannya. Klimaksnya yakni pada Juni lalu yang juga sempat membuat kripto mengalami kejatuhan untuk kedua kalinya pada tahun ini.
Celsius pun mengajukan kebangkrutan karena mereka tidak dapat memenuhi kewajibannya. Diketahui, nilai kewajiban atau utang yang harus ditanggung oleh Celsius mencapai US$ 1,2 miliar.
Selain Celsius, ada perusahaan hedging kripto yang juga beroperasi seperti Celsius yakni Three Arrows Capital atau 3AC.
3AC sudah terlibat dengan beberapa proyek dan perusahaan kripto besar. Kasus 3AC berawal dari strategi yang digunakan oleh sang CEO yakni Su Zhu, di mana ia menggunakan teori yang bernama Supercycle.
Teori Supercycle adalah teori yang menentukan target harga pribadi dari beberapa kripto yang dimiliki perusahaan dan Su Zhu jauh lebih tinggi dari yang seharusnya.
Sayangnya, teori itu tidak tepat. Lewat akun Twitternya, Su menyatakan bahwa teori itu salah dan saat ia mengakunya, mulai banyak rumor bermunculan bahwa 3AC akan bangkrut karena menerapakan teori Supercycle.
Dengan target yang terlalu tinggi, maka kemungkinan besar 3AC menjadi tidak siap untuk menghadapi kesalahan target dan penurunan harga secara tiba-tiba. Dari sini lah mulai terlihat awal perusahaan akan hancur dan rumor perusahaan kekurangan dana semakin santer terdengar.
Pada 15 Juni lalu, Su Zhu menanggapi rumor tersebut dan menyatakan bahwa perusahaannya sedang menanggapi kasus kekurangan dana.
Dalam beberapa hari kemudian, 3AC mengonfirmasi bahwa masalah kekurangan dana semakin membesar dan mengklaim bahwa pihaknya sedang menghadapi kesulitan likuiditas.
Alhasil, efek dari krisis keuangan 3AC pun berdampak pada perusahaan kripto yang juga menjadi klien 3AC. Adapun perusahaan kripto tersebut yakni BlockFi dan Voyager Digital.
Di Voyager Digital, awal mulanya mereka enggan melakukan penangguhan transaksi karena mereka tak ingin nasabahnya kabur. Namun lama kelamaan, Voyager Digital akhirnya juga goyah.
Pada 4 Juli lalu, Voyager mengikuti langkah Celsius yakni melakukan penangguhan transaksi nasabah, baik untuk melakukan penarikan dana maupun penjualan kripto.
Selang sehari setelah penangguhan transaksi yakni pada 5 Juli lalu, Voyager pun mengajukan kebangkrutan kepada otoritas di Distrik Selatan New York.
Voyager saat itu mengungkapkan bahwa mereka memiliki lebih dari 100 ribu kreditur (pihak pemberi pinjaman) dan aset bernilai antara US$ 1 miliar dan US$ 10 miliar.
Menurut pengamat kripto, Frances Coppola, nilai pinjaman Voyager mencapai hampir separuh dari total aset yang dimilikinya. Mirisnya, hampir 60% dari pinjaman itu adalah pinjaman kepada 3AC.
Awal mula dari kejatuhan kripto pada tahun ini adalah kasus jatuhnya token besutan Terraform Labs, yakni Terra Luna (LUNA) dan TerraUSD (UST).
Banyak perusahaan kripto yang memiliki eksposur token Terra, termasuk 3AC, sehingga kejatuhan token Terra membuat banyak perusahaan kripto kesulitan untuk memenuhi penarikan nasabah dan menyebabkan krisis.
Terraforms Labs yang bermarkas di Korea Selatan ini memiliki dua token yakni berjenis token alternatif (altcoin), Terra Luna (kini bernama Terra Classic) dan berjenis stablecoin yakni TerraUSD (kini bernama TerraClassicUSD).
Keduanya pun saling berkaitan, di mana UST mengandalkan kode dan token saudaranya, LUNA, untuk mempertahankan nilainya di US$ 1.
Terra memiliki ambisi sebagai platform yang menciptakan stablecoin yang dikaitkan dengan uang resmi yang diterbitkan oleh bank sentral. Tujuannya untuk mendukung sistem pembayaran global dengan settlement yang cepat dan terjangkau seperti contohnya Alipay di blockchain.
LUNA memiliki peran yang vital untuk menstabilkan harga dari stablecoin yang ada di ekosistem Terra, dalam hal ini UST dan mengurangi volatilitas pasar. Ketika UST turun sedikit maka LUNA akan dijual atau dibakar (dihancurkan) untuk menstabilkan harga.
UST merupakan stablecoin algoritmik. Alih-alih memiliki uang tunai dan aset riil lainnya yang disimpan sebagai cadangan untuk mendukung token, proyek ini menggunakan campuran kode yang komplek dan LUNA bertugas untuk menstabilkan harga.
Namun pada Mei lalu, UST secara tiba-tiba bergerak tidak wajar, di mana UST sempat ambles jauh di bawah pasaknya di US$ 1. Bahkan pada 13 Mei lalu, harga UST sempat mencapai US$ 0,16 per keping.
Saat UST tak mampu menjalankan fungsi utamanya, sister coin yakni LUNA juga bernasib sama, di mana harganya yang sebelumnya sempat menyentuh rekor tertinggi di kisaran US$ 110, pada 12 Mei lalu, harganya langsung longsor ke kisaran US$ 0,08 per keping.
Stablecoin algoritmik ini memiliki kelemahan sebagai penopang sebagian besar nilai UST. Hal inilah yang menjadikan harga LUNA sangat terpengaruh oleh penurunan UST yang sangat dramatis.
CEO TerraLabs, Do Kwon pun mengakui bahwa model stablecoin tersebut hadir dengan beberapa pengorbanan. Faktanya, memang koin sangat terdesentralisasi. Namun, dibandingkan dengan koin seperti Tether (USDT), LUNA menghadapi beberapa masalah stabilitas harga, terutama jika sistemnya berada di bawah tekanan.
Ada kemungkinan bahwa jatuhnya UST dan LUNA disebabkan karena adanya 'oknum' yang hingga kini belum diketahui memanfaatkan kelemahan dari mekanisme yang Terra punya. Kelemahan dari Terra LUNA adalah soal 'death spiral'.
Artinya, nilai suatu kripto akan terus menurun karena lebih banyak token dicetak hanya untuk memenuhi permintaan penggunanya.
TIM RISET CNBC INDONESIA