CNBC Indonesia Research

Krisis FTX, Akankah Bernasib Seperti Celsius dkk?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
10 November 2022 15:45
Terra Luna_konten
Foto: cover topik/ Terra Luna_konten/ Aristya rahadian

Awal mula dari kejatuhan kripto pada tahun ini adalah kasus jatuhnya token besutan Terraform Labs, yakni Terra Luna (LUNA) dan TerraUSD (UST).

Banyak perusahaan kripto yang memiliki eksposur token Terra, termasuk 3AC, sehingga kejatuhan token Terra membuat banyak perusahaan kripto kesulitan untuk memenuhi penarikan nasabah dan menyebabkan krisis.

Terraforms Labs yang bermarkas di Korea Selatan ini memiliki dua token yakni berjenis token alternatif (altcoin), Terra Luna (kini bernama Terra Classic) dan berjenis stablecoin yakni TerraUSD (kini bernama TerraClassicUSD).

Keduanya pun saling berkaitan, di mana UST mengandalkan kode dan token saudaranya, LUNA, untuk mempertahankan nilainya di US$ 1.

Terra memiliki ambisi sebagai platform yang menciptakan stablecoin yang dikaitkan dengan uang resmi yang diterbitkan oleh bank sentral. Tujuannya untuk mendukung sistem pembayaran global dengan settlement yang cepat dan terjangkau seperti contohnya Alipay di blockchain.

LUNA memiliki peran yang vital untuk menstabilkan harga dari stablecoin yang ada di ekosistem Terra, dalam hal ini UST dan mengurangi volatilitas pasar. Ketika UST turun sedikit maka LUNA akan dijual atau dibakar (dihancurkan) untuk menstabilkan harga.

UST merupakan stablecoin algoritmik. Alih-alih memiliki uang tunai dan aset riil lainnya yang disimpan sebagai cadangan untuk mendukung token, proyek ini menggunakan campuran kode yang komplek dan LUNA bertugas untuk menstabilkan harga.

Namun pada Mei lalu, UST secara tiba-tiba bergerak tidak wajar, di mana UST sempat ambles jauh di bawah pasaknya di US$ 1. Bahkan pada 13 Mei lalu, harga UST sempat mencapai US$ 0,16 per keping.

Saat UST tak mampu menjalankan fungsi utamanya, sister coin yakni LUNA juga bernasib sama, di mana harganya yang sebelumnya sempat menyentuh rekor tertinggi di kisaran US$ 110, pada 12 Mei lalu, harganya langsung longsor ke kisaran US$ 0,08 per keping.

Stablecoin algoritmik ini memiliki kelemahan sebagai penopang sebagian besar nilai UST. Hal inilah yang menjadikan harga LUNA sangat terpengaruh oleh penurunan UST yang sangat dramatis.

CEO TerraLabs, Do Kwon pun mengakui bahwa model stablecoin tersebut hadir dengan beberapa pengorbanan. Faktanya, memang koin sangat terdesentralisasi. Namun, dibandingkan dengan koin seperti Tether (USDT), LUNA menghadapi beberapa masalah stabilitas harga, terutama jika sistemnya berada di bawah tekanan.

Ada kemungkinan bahwa jatuhnya UST dan LUNA disebabkan karena adanya 'oknum' yang hingga kini belum diketahui memanfaatkan kelemahan dari mekanisme yang Terra punya. Kelemahan dari Terra LUNA adalah soal 'death spiral'.

Artinya, nilai suatu kripto akan terus menurun karena lebih banyak token dicetak hanya untuk memenuhi permintaan penggunanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular