Jakarta, CNBC Indonesia - Harga aset keuangan domestik baik saham maupun Surat Berharga Negara (SBN) mengalami kenaikan. Namun sayang, nilai tukar rupiah masih melemah.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil rebound dari korkesi dan menutup perdagangan Kamis (3/11/2022) di zona hijau dengan apresiasi 0,27% di 7.034,57.
Di awal perdagangan IHSG sempat terlempar keluar dari level psikologis 7.000 dan menyentuh posisi terendahnya di 6.962,85.
Meskipun IHSG menguat, tetapi mayoritas saham mengalami pelemahan. Statistik perdagangan mencatat ada 280 saham yang melemah, 248 saham yang terkoreksi dan 164 saham stagnan.
Kinerja IHSG kemarin juga terbilang impresif karena berdasarkan return, IHSG mampu menjadi jawara dunia. Suatu hal yang patut diapresiasi ketika mayoritas indeks saham global mengalami pelemahan.
Di kawasan Asia, banyak indeks saham acuan yang melemah lebih dari 1%, sebut saja KLCI Malaysia, STI Singapura dan bahkan indeks Hang Seng Hong Kong drop 3% lebih.
Namun kinerja IHSG masih tertahan di kisaran 7.000-7.100 belakangan ini. Memang belum ada katalis positif yang mendukung dari sisi sentimen.
Sejalan dengan kinerja saham, harga SBN tenor acuan juga mengalami penguatan yang tercermin dari penurunan imbal hasil (yield).
Untuk seri acuan 5 tahun yaitu FR0090, yield-nya turun 4 basis poin (bps) menjadi 7,04%. Sedangkan untuk yield SBN acuan tenor 10 tahun yaitu FR0091, yield-nya turun 2 bps menjadi 7,43%.
Namun jika dibandingkan dengan kondisi awal tahun jelas bahwa yield mengalami kenaikan yang mengindikasikan pelemahan harga.
Pelemahan harga obligasi negara terjadi seiring dengan adanya outflows dana asing yang jumbo hingga ratusan triliun rupiah.
Hal ini berbeda dengan pasar saham yang justru mencatatkan inflow jumbo. Fenomena ini mencerminkan bahwa investor asing lebih memilih saham dibandingkan dengan SBN.
Namun sayang outflow jumbo yang terjadi di pasar SBN turut membuat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi.
Kemarin, rupiah melemah lagi terhadap dolar AS di pasar spot sebesar 0,32% ke Rp 15.695/US$. Rupiah sudah hampir tembus Rp 15.700/US$ dan terdepresiasi 10,14% sepanjang tahun ini.
Rupiah terus melemah seiring dengan dolar AS yang menguat tajam dengan kebijakan Fed yang agresif mengerek suku bunga acuan.
Indeks Saham Wall Street kembali dibuka melemah pada perdagangan Kamis (3/11/2022). Indeks Dow Jones Industrial Average diperdagangkan 194 poin lebih rendah, atau melemah 0,6%. S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing turun 1% dan 1,3%. Tercatat pada 13:30 waktu setempat Bursa AS masih terpantau merah dimana DJI turun tipis 0,11%, S&P 500 drop 0,54%, dan Nasdaq terkoreksi 1,06%.
Pelemahan indeks saham acuan diakibatkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) surat utang negara AS seiring dengan pelaku pasar yang terus mencerna kebijakan Fed.
Sebenarnya pelaku pasar telah mengantisipasi adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) dalam pertemuan bulan November 2022.
Namun Ketua Fed Jerome Powell mengatakan masih "prematur" untuk membahas jeda kenaikan suku bunga dan bahwa suku bunga terminal kemungkinan akan lebih tinggi dari yang dinyatakan sebelumnya.
Dow Jones Industrial Average mengakhiri sesi perdagangan Rabu 505 poin lebih rendah, atau 1,6%. S&P 500 turun 2,5%, dan Nasdaq Composite turun 3,4%.
Pasar kemungkinan akan terus jungkir balik sampai jelas inflasi telah mendingin dan bahwa The Fed telah berhenti menaikkan suku bunga lebih tinggi, meskipun pelaku pasar terpecah ke mana arah suku bunga.
Setiap data yang menunjukkan ekonomi AS tidak melambat karena kebijakan pengetatan bank sentral kemungkinan akan membebani saham.
"Dalam pandangan kami, imbalan risiko untuk pasar selama tiga hingga enam bulan ke depan tidak menguntungkan, dan pernyataan Fed hari ini mendukung pandangan itu," tulis Mark Haefele, kepala investasi UBS, dalam sebuah catatan kepada klien Rabu, sebagaimana dilaporkan CNBC Indonesia.
Perhatian investor juga beralih ke nonfarm payrolls Oktober, yang akan dirilis Jumat. Jumlah pekerjaan yang baik dan tingkat pengangguran yang rendah, sementara baik untuk ekonomi, bisa menandakan lebih banyak kenaikan suku bunga Fed ke depan.
Pasar masih terbebani dengan gagasan bahwa harapan suku bunga kembali dipangkas adalah hal yang terlalu dini dilakukan di tengah inflasi yang tetap tinggi.
Namun di sisi lain kebijakan moneter yang agresif juga membuat perekonomian bisa melambat. Sayangnya perlambatan ekonomi masih belum tercermin terutama dari sisi data ketenagakerjaan AS.
Data Initial Jobless Claims AS dilaporkan mencapai 217 ribu hingga 29 Oktober 2022. Angka tersebut lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 218 ribu.
Bahkan angka initial jobless claims juga di bawah perkiraan konsensus pasar yang memproyeksi akan ada 220 ribu.
Kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih kuat di satu sisi juga memicu adanya ekspektasi bahwa pengetatan moneter masih bisa dilanjutkan karena kuatnya ketenagakerjaan dan upah akan cenderung mendorong inflasi naik.
Selain Fed, bank sentral Inggris yaitu BoE juga mengambil langkah kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 3%. Kebijakan ini sudah sesuai dengan perkiraan konsensus.
Bank sentral negara-negara Barat memang terkenal agresif dalam mengerek naik suku bunga acuan. Hal ini berbeda dengan kebijakan bank sentral di beberapa negara Asia terutama China.
People's Bank of China (PBoC) selama ini justru masih mempertahankan sikap dovishnya di tengah ekonomi China yang juga sedang melambat akibat kebijakan zero covid policy dan sektor properti yang diambang krisis.
Setahun lebih setelah krisis likuiditas yang dialami oleh pengembang properti China Evergrande Group terjadi, kondisi pasar properti Negeri Tirai Bambu justru semakin menyedihkan sekarang.
Harga dan volume penjualan properti juga mengalami penurunan secara konsisten. China Index Academy (CIA) melaporkan harga rumah di 100 kota di China drop 4 bulan berturut-turut hingga Oktober 2022.
Sementara itu penjualan properti di 100 kota di China juga dilaporkan turun 20% year on year (yoy) pada Oktober 2022 oleh CIA.
Penurunan kinerja sektor properti tersebut membuat ekonomi China dibayangi oleh perlambatan yang nyata. Goldman Sachs menyebut bahwa kontribusi sektor real estate di China diperkirakan mencapai 18%-30% dari PDB.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis Pernyataan Kebijakan Moneter RBA (07:30 WIB)
- Rilis data Jibun Bank Composite PMI (07:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY) | 5,44 % |
Inflasi (Oktober 2022, YoY) | 5,71% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022) | 4,75% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022) | -3,92% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2022) | 1,1% PDB |
Cadangan Devisa (September 2022) | US$ 130,8 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA