Inflasi RI Melandai, Rupiah Malah Terburuk di Asia...

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
Selasa, 01/11/2022 12:15 WIB
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terdepresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pada pertengahan perdagangan Selasa (01/11/2022), setelah rilis data inflasi per Oktober 2022 yang melandai ketimbang bulan sebelumnya.

Mengacu pada data Refinitiv, rupiah terkoreksi pada pembukaan perdagangan sebesar 0,16% ke Rp 15.620/US$. Kemudian, rupiah melanjutkan pelemahannya sebesar 0,35% ke Rp 15.650/US$ pada pukul 11:10 WIB.


Hari ini, S&P Global telah merilis PMI Manufaktur Indonesia per Oktober 2022, turun menjadi 51,8 dari posisi pada bulan sebelumnya di 53,7. Meski melandai, tapi PMI Manufaktur masih ekspansif karena berada di atas batas acuan di 50, sedangkan di bawahnya menunjukkan kontraksi.

Pertumbuhan permintaan keseluruhan yang berkelanjutan di sektor manufaktur Indonesia mendorong peningkatan produksi manufaktur di Oktober. Tingkat pertumbuhan pesanan baru dan output menurun dari bulan sebelumnya tapi tetap solid.

Di sisi lain, permintaan asing untuk barang-barang manufaktur Indonesia turun, tampaknya disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang lebih lemah.

Tingkat kepercayaan pelaku bisnis menguat ke level tertinggi selama tujuh bulan, terkait dengan harapan bahwa penjualan akan membaik dengan kondisi ekonomi yang lebih baik ke depannya.

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga merilis data inflasi Oktober 2022 yang berada di 5,71% secara tahunan, melandai ketimbang bulan sebelumnya di 5,95%. Posisi tersebut lebih rendah dari konsensus analis yang dihimpun CNBC Indonesia terhadap 12 institusi yakni di 5,95%.

Adapun inflasi bulanan Oktober jauh lebih kecil dibandingkan yang tercatat pada September yakni 1,17% (mtm).

Diketahui ada beberapa kali penyesuaian harga energi pada beberapa waktu terakhir. Antara lain kenaikan Pertamax, Pertalite dan Solar pada awal September 2022. Kemudian 1 Oktober 2022, harga Pertamax diturunkan.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) BPS, Setianto mengatakan bahwa penyumbang inflasi tertinggi masih dipicu oleh bensin, tarif angkutan dalam kota, solar dan tarif antara kota dan rumah tangga.

Sementara itu, para pelaku pasar global masih menantikan rilis keputusan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terkait keputusan kenaikan suku bunga acuannya pada 3 November dini hari waktu Indonesia.

Melansir FedWatch, sebanyak 87,2% analis memprediksikan Fed akan menaikkan suku bunga acuan 75 bps dan mengirim tingkat suku bunga ke 3,75%-4%. Sementara 12,8% memproyeksikan kenaikan 50 bps.

Meski potensi The Fed untuk agresif pada pekan ini meningkat, nyata tidak membuat dolar AS menguat di pasar spot. Pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS terpantau melemah 0,2% ke posisi 111,3. Hal tersebut mencerminkan bahwa para pelaku pasar sepertinya sudah priced in akan kenaikan suku bunga acuan setinggi 75 bps.

Bahkan, analis memprediksikan bahwa dolar AS sedang bergerak konsolidasi saat ini.

"Saya pikir dolar secara umum sedang berkonsolidasi. Banyak berita telah dimasukkan pada dolar," kata Direktur Eksekutif di FX Klarity FX di San Francisco Amo Sahota dikutip Reuters.

Terkoreksinya si greenback, membuka penguatan mayoritas mata uang di Asia, di mana hanya dolar Hong Kong yang terlihat stagnan.

Sementara, yen Jepang dan baht Thailand berhasil menguat paling besar di Asia, yang masing-masing sebesar 0,26% dan 0,24% terhadap dolar AS.

Sedangkan, Mata Uang Garuda terkoreksi paling tajam di Asia, melemah 0,35% di hadapan dolar AS. Disusul oleh yuan China terdepresiasi 0,15% terhadap dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/aaf)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS