Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi tinggi yang melanda di berbagai negara membuat bank sentralnya agresif menaikkan suku bunga, meski terpuruknya perekonomian menjadi taruhannya.
Maklum saja, jika inflasi sampai mendarah daging, maka dampaknya akan jauh lebih buruk ketimbang resesi.
Inflasi di Amerika Serikat (AS) berada di dekat level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, begitu juga dengan Inggris, Kanada 39 tahun, dan zona euro di rekor tertinggi sepanjang masa.
Bank sentral negara-negara tersebut sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Bank sentral AS (The Fed) dan bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) menjadi yang paling agresif.
The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sudah menaikkan suku bunga sebesar 300 basis poin menjadi 3% - 3,25%. BoC Lebih tinggi lagi, kini sudah 3,5%.
Hingga saat ini, BoC tercatat sudah ada 6 kali kenaikan, bahkan pada Juli lalu sebesar 100 basis poin dan September 75 basis poin.
Kenaikan terakhir dilakukan Rabu kemarin sebesar 50 basis poin. Yang menarik, BoC menaikkan suku bunga di bawah ekspektasi pasar sebesar 75 basis poin.
BoC bahkan mengatakan, periode kenaikan suku bunga sebentar lagi akan berakhir, sebab perekonomiannya diperkirakan akan stagnan dalam 3 kuartal ke depan.
"Periode pengetatan moneter hampir selesai. Kita sudah dekat, tetapi belum sampai," kata Gubernur BoC, Tiff Macklem, dalam konferensi pers sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (26/10/2022).
Macklem mengatakan seberapa tinggi suku bunga akan tergantung dari dampak yang diberikan, seberapa besar kebijakan moneter mampu meredam demand, bagaimana masalah supply diselesaikan serta inflasi dan ekspektasi inflasi merespon kebijakan tersebut.
"Kami memperkirakan suku bunga akan kembali dinaikkan. Itu berarti bisa lebih besar dari kenaikan normal, atau bisa juga dengan kenaikan normal 25 basis poin," ujar Macklem.
Langkah BoC tersebut tentunya memberikan harapan The Fed juga mulai mengendurkan laju kenaikan suku bunganya.
Apalagi sebelumnya Wall Street Journal (WSJ) melaporkan beberapa pejabat The Fed mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan segera.
"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters Jumat lalu.
Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa mengendurkan laju kenaikan suku bunga.Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.
"Pasar sudah mem-priced in kenaikan 75 bps lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bps tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat.Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS," tuturDaly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tekanan Bagi Rupiah Bakal Mereda?
Sudah jamak diketahui pemicu utama pelemahan rupiah adalah bank sentral AS (The Fed) yang sangat agresif menaikkan suku bunga. Sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.
Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 43% suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
 Foto: CME Group |
Tetapi probabilitas tersebut kini menurun ketimbang pekan lalu yang sekitar 50%.
Jika The Fed mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, tekanan bagi rupiah tentunya akan mereda.
Tetapi, rupiah kini tidak hanya menghadapi tekanan dari eksternal. Dari dalam negeri, masalah tirisnya pasokan valas juga membuat rupiah sulit menguat.
Keringnya pasokan valas terlihat dari cadangan devisa Indonesia yang terus menurun. Devisa merupakan alat pembayaran transaksi antar negara dan diakui dunia internasional, dalam hal ini bisa berupa valuta asing (dolar AS, euro, yen, dll), emas hingga surat berharga.
Awal bulan ini, Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2022 mencapai US$ 130,8 miliar. Realisasi ini anjlok US$ 1,4 miliar dibandingkan posisi Agustus 2022 yang sebesar US$ 132,2 miliar.
Jika melihat ke belakang, cadangan devisa Indonesia mencatat rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar pada September 2021 lalu. Artinya, dalam setahun cadangan devisa sudah merosot US$ 16,1 miliar.
Yang menjadi perhatian adalah cadangan devisa yang terus menurun, sementara transaksi berjalan mencetak surplus hingga 29 bulan beruntun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, surplus neraca perdagangan pada periode Januari - September 2022 mencapai US$ 39,87 miliar atau tumbuh sebesar 58,83%.
Besarnya nilai ekspor tersebut tidak tercermin di cadangan devisa negara. Sehingga ada indikasi dolar AS yang diterima eksportir disimpan di luar negeri.
Salah satu upaya menambah devisa di dalam negeri yakni dengan penerbitan global bond. September lalu pemerintah telah menerbitkan global bond berdenominasi dolar AS senilai US$ US$2,65 miliar.
Bahkan pemerintah harus membayar mahal guna menambah pasokan devisa.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan tingkat kupon global bond tenor 10 tahun yang diterbitkan September lalu sebesar 4,650%. Kupon tersebut lebih tinggi dua kali lipat ketimbang yang diterbitkan pada September 2021 sebesar 2,150%.
Beban pembayaran bunga pun akan membengkak sangat signifikan. Hal ini tentunya akan berdampak ke belanja pembayaran bunga utang di APBN ke depannya.
Data dari DJPPR juga menunjukkan tanggal setelmen penerbitan global bond pada 20 September.
Dengan tambahan tersebut, nyatanya cadangan devisa pada September masih juga merosot. Artinya kebutuhan BI untuk melakukan intervensi menjaga stabilitas rupiah sangat tinggi.
Jika penurunan cadangan devisa terus berlanjut, rupiah berisiko semakin tertekan, bukan tidak mungkin mendekati lagi Rp 16.000/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA