CNBC Indonesia Research

Good News! Ada Tanda Berakhirnya Kenaikan Suku Bunga Agresif

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 October 2022 15:35
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Sudah jamak diketahui pemicu utama pelemahan rupiah adalah bank sentral AS (The Fed) yang sangat agresif menaikkan suku bunga. Sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.

Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.

Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 43% suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.

idrFoto: CME GroupĀ 

Tetapi probabilitas tersebut kini menurun ketimbang pekan lalu yang sekitar 50%.

Jika The Fed mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, tekanan bagi rupiah tentunya akan mereda.

Tetapi, rupiah kini tidak hanya menghadapi tekanan dari eksternal. Dari dalam negeri, masalah tirisnya pasokan valas juga membuat rupiah sulit menguat.

Keringnya pasokan valas terlihat dari cadangan devisa Indonesia yang terus menurun. Devisa merupakan alat pembayaran transaksi antar negara dan diakui dunia internasional, dalam hal ini bisa berupa valuta asing (dolar AS, euro, yen, dll), emas hingga surat berharga.

Awal bulan ini, Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2022 mencapai US$ 130,8 miliar. Realisasi ini anjlok US$ 1,4 miliar dibandingkan posisi Agustus 2022 yang sebesar US$ 132,2 miliar.

Jika melihat ke belakang, cadangan devisa Indonesia mencatat rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar pada September 2021 lalu. Artinya, dalam setahun cadangan devisa sudah merosot US$ 16,1 miliar.

Yang menjadi perhatian adalah cadangan devisa yang terus menurun, sementara transaksi berjalan mencetak surplus hingga 29 bulan beruntun.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, surplus neraca perdagangan pada periode Januari - September 2022 mencapai US$ 39,87 miliar atau tumbuh sebesar 58,83%.

Besarnya nilai ekspor tersebut tidak tercermin di cadangan devisa negara. Sehingga ada indikasi dolar AS yang diterima eksportir disimpan di luar negeri.

Salah satu upaya menambah devisa di dalam negeri yakni dengan penerbitan global bond. September lalu pemerintah telah menerbitkan global bond berdenominasi dolar AS senilai US$ US$2,65 miliar.

Bahkan pemerintah harus membayar mahal guna menambah pasokan devisa.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan tingkat kupon global bond tenor 10 tahun yang diterbitkan September lalu sebesar 4,650%. Kupon tersebut lebih tinggi dua kali lipat ketimbang yang diterbitkan pada September 2021 sebesar 2,150%.

Beban pembayaran bunga pun akan membengkak sangat signifikan. Hal ini tentunya akan berdampak ke belanja pembayaran bunga utang di APBN ke depannya.

Data dari DJPPR juga menunjukkan tanggal setelmen penerbitan global bond pada 20 September.

Dengan tambahan tersebut, nyatanya cadangan devisa pada September masih juga merosot. Artinya kebutuhan BI untuk melakukan intervensi menjaga stabilitas rupiah sangat tinggi.

Jika penurunan cadangan devisa terus berlanjut, rupiah berisiko semakin tertekan, bukan tidak mungkin mendekati lagi Rp 16.000/US$.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular