Awal Pekan IHSG Cerah, Sempat Tembus 7.090

Market - Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
24 October 2022 15:32
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo) Foto: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup cerah pada perdagangan Senin (24/10/2022) awal pekan ini, di tengah cenderung cerahnya bursa saham global.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup menguat 0,5% ke posisi 7.053,04. IHSG konsisten bergerak di zona hijau pada hari ini.

Sejak perdagangan dibuka, IHSG sudah berada di zona hijau. Selang 5 menit kemudian, indeks terpantau melanjutkan penguatan 0,6% ke 7.060,25. Pada Pukul 10:30 WIB, IHSG terpantau masih menghijau dengan apresiasi 0,87% ke 7.078,94 dan konsisten berada di zona hijau hingga penutupan perdagangan sesi I.

Pada perdagangan sesi II, penguatan IHSG pun berlanjut, namun penguatannya cenderung terpangkas dan lebih rendah dari sesi I hari ini.

Adapun level tertinggi harian IHSG pada hari ini berada di posisi 7.092,17, sedangkan level terendah indeks hari ini berada di 7.036,51.

Nilai transaksi indeks pada hari ini mencapai sekitaran Rp 13 triliun dengan melibatkan 24 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 301 saham menguat, 245 saham melemah, dan 151 saham mendatar.

Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi penopang terbesar indeks pada hari ini, di mana saham BBCA menopang indeks hingga 19,371 poin. Saham BBCA ditutup melonjak 2,89% ke posisi Rp 8.900/unit.

Sedangkan di posisi kedua dan ketiga, ada saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang juga menopang indeks masing-masing 10,081 poin dan 6,624 poin.

Saham BBRI ditutup melesat 1,58% ke posisi Rp 4.500/unit, sedangkan saham BBNI melompat 3,89% menjadi Rp 9,350/unit.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan akhir pekan lalu berakhir di zona hijau. Dengan begitu, Wall Street mampu mencatat kinerja mingguan terbaik sejak Juni. Pada Jumat pekan lalu, ketika indeks utama bahkan melesat lebih dari 2%.

Indeks Dow Jones memimpin penguatan sebesar 2,5%, disusul S&P 500 melejit sebesar 3,4%, dan Nasdaq melonjak 2,3%.

Namun pergerakan Wall Street ini mesti diwaspadai, meskipun menghijau, rebound tersebut tidak akan bertahan lama. Kalaupun berlanjut di pekan ini, diperkirakan hanya satu atau dua hari saja.

Apalagi penguatan tersebut terjadi setelah Wall Street Journal (WSJ) melaporkan beberapa pejabat The Fed mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan segera.

"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters.

Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly mengatakan bahwa The Fed harus menghindari menempatkan ekonomi AS ke dalam "penurunan paksa" dengan pengetatan yang berlebihan. Ia menambahkan bahwa The Fed mendekati titik di mana laju kenaikan suku bunga harus diperlambat.

Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.

Sentimen yang patut dicermati datang dari China, data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) China diperkirakan akan dirilis pada Rabu (26/10/2022) setelah ditundas pekan ini.

Tidak ada penjelasan dari Biro Statistik Nasional China (NBS) kenapa dilakukan penundaan dan sampai kapan. Yang pasti, penundaan tersebut terjadi saat Kongres Partai Komunis China berlangsung.

Penundaan tanpa alasan tersebut membuat investor was-was, sebab perekonomian China sedang diliputi 'kegelapan'.

Sentimen eksternal terkait inflasi yang kian meninggi, pengetatan likuiditas, hingga konflik geopolitik Ukraina dan Rusia membuat ekonomi dunia kian terjerumus dalam jurang kehancuran. Isu resesi ekonomi global menjadi 'momok' menyeramkan bagi seluruh negara di dunia. Termasuk Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia tampaknya sedikit lega karena IMF memperkirakan ekonomi Indonesia tetap tumbuh hingga 5,3% tahun ini dan 5% pada 2023.

Namun perlemahan rupiah akhir-akhir ini dan inflasi yang kembali menanjak akan membuat Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan masih melanjutkan periode kenaikan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun terancam mengalami pelambatan.

Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 21-22 Oktober 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 4%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,5%.

Untuk kali pertama dalam sejarah, BI menaikkan suku bunga 50 basis poin dalam2 bulan beruntun. Total BI sudah 3 kali menaikkan suku bunga sebesar 125 basis poin.

TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Sempat Menguat di Sesi 1, IHSG Hari Ini Ditutup Melemah


(chd/chd)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading