Kata 5 Ekonom Soal BI Naikkan Suku Bunga 50 Bps, Gawatkah?

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
21 October 2022 14:01
CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Oktober 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis points (bps) menjadi 4,75%.

Ini adalah kenaikan ketiga dalam tiga bulan terakhir, sebelumnya BI telah menaikkan suku bunga sebesar 25 bps pada Agustus dan 50 bps pada September 2022.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan bahwa keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting).

Selain itu, BI bertekad memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 2%-4% lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023.

"Serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat," kata Perry dalam konferensi pers hasil RDG BI Edisi Oktober 2022, dikutip Jumat (21/10/2022).

Namun, sejalan dengan keputusan tersebut, rupiah justru terkapar hari ini.

Mengacu pada data Refinitiv, rupiah stagnan pada pembukaan perdagangan di Rp 15.570/US$. Sayangnya, rupiah kembali tertekan sebesar 0,19% ke Rp 15.600/US$ pada pukul 11:10 WIB. Posisi tersebut menjadi yang terendah sejak 15 April 2020.

Apakah ini artinya suku bunga BI belum cukup untuk menekan pelemahan rupiah? Bagaimana strategi BI selanjutnya?

Berikut ini tanggapan 5 ekonom terkait dengan kenaikan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI-7RRR).

1. Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi

Kepada CNBC Indonesia, Fithra mengungkapkan pelemahan Rupiah yang sudah ke atas Rp 15.500 tidak terlalu besar di tengah langkah hawkish The Fed.

Fithra juga melihat langkah BI yang mengerek suku bunga acuan diapresiasi positif pasar yang tercermin dari penguatan IHSG dan pelemahan Rupiah tidak terlalu liar.

"Artinya market memang mengharapkan Bank Indonesia menyesuaikan suku bunganya, melihat bahwa ke depan the Fed akan secara persistent menaikkan suku bunganya," kata Fithra, Jumat (21/10/2022).

Terlebih lagi, kata Fithra, tingkat inflasi di AS masih berkisar di 8% saat ini.

"Saya rasa apa yang dilakukan BI dengan front loading, ahead the curve, cukup berhasil setidak-tidaknya menjinakkan rupiah," lanjutnya.

Sisi positif lainnya adalah kenaikan suku bunga ini akan membantu menahan arus modal keluar.

Namun, di sisi lain, dia mengingatkan adanya risiko pembiayaan bagi korporasi atau dunia usaha dari kenaikan suku bunga acuan BI.

Terkait dengan dampak pelemahan rupiah, Fithra mengkhawatirkan adanya efek imported inflation.

"90% bahan baku dan barang modal kita itu diimpor, tetapi di sisi lain kita bisa lihat dampak positifnya," kata Fithra.

Ekspor Indonesia akan lebih kompetitif. Namun, itu tergantung pada kondisi di dalam negeri, terutama manufaktur.

Dia pun melihat Indonesia masih mengalami oversupply, sehingga tidak bergantung pada kondisi input produksi dari global.

Sejauh ini, BI telah turun tangan mengatasi pelemahan rupiah dengan menaikkan suku bunga. Dalam hal ini, BI melakukan intervensi dari sisi demand atau permintaan.

Namun, Fithra melihat pemerintah juga harus berupaya untuk mengatasi dari sisi pasokan.

"Sehingga bauran kebijakan yang baik akan membantu menggawangi rupiah dalam koridornya," katanya.

2. Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro

Kenaikan suku bunga BI sebesar 50 bps sesuai dengan ekspektasi pasar ketika rupiah melemah cukup dalam.

Sekarang ini, perhatian pasar akan beralih pada pertemuan the Fed, FOMC meeting, pada 2 November 2022.

"Dengan panduan suku bunga yang lebih sedikit, kami sekarang memperkirakan kenaikan 25 bps akan dilakukan pada akhir tahun dan 50 bps lainnya dalam proses tahun depan dengan BI rate masing-masing berada di 5,0-5,5% untuk 2022-2023, tetapi ini akan mengalami depresiasi rupiah lebih lanjut," ungkap Satria.

Dengan rupiah dalam waktu dekat yang sangat terekspos terhadap sentimen global, Satria mengungkapkan bahwa Gubernur BI telah mengatakan tekanan akan mereda setelah suku bunga Fed Fund mencapai puncaknya pada kuartal I/2023 dan aliran dana asing akan kembali masuk.

"Kami pikir perhatian utama di sini adalah bagaimana BI akan mengelola risiko nilai tukar di tengah arus keluar modal karena likuiditas nilai tukar domestik tipis karena perbedaan suku bunga yang lebar," lanjutnya.

Menurut BI, bank masih memiliki cadangan devisa dan penyangga modal yang besar dengan stress-test menunjukkan bahwa sistem perbankan tetap tangguh.

Namun, per 7 Oktober, cadangan likuiditas valas bank umum turun 6,7% MTD menjadi Rp99 triliun. Hal ini terjadi karena adanya penurunan penempatan giro di BI.

3. Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira

Bhima melihat BI memiliki tantangan ke depan yang cukup kompleks. Pasalnya, dia melihat inflasi dari harga BBM akan bertahan hingga awal 2023, karena pelaku usaha juga didesak oleh penyesuaian biaya logistik maupun bahan baku.

Kemudian jelang natal tahun baru, inflasi dari sisi demand mulai naik efek seasonal libur panjang.

"Artinya inflasi yang relatif tinggi dibanding prapandemi akan bertahan lebih lama dari ekspektasi," paparnya.

Oleh karena itu, dia melihat adanya kemungkinan BI kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada November 2022.

Dengan demikian pada akhir tahun, dia memperkirakan suku bunga BI akan berada di level 5,25% atau 5,5%.

Mengenai dampak imported inflation akibat pelemahan rupiah, dia menilai efeknya baru akan muncul 3-5 bulan lagi.

"Diukur dari waktu pengiriman kargo atau kontrak pembelian bahan baku impor yang baru," ujarnya.

4. Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman

Dia memperkirakan BI akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya hingga kuartal I-2023.

"Dari sisi eksternal, tingginya inflasi di AS tampaknya lebih persisten dari yang diperkirakan, menegaskan sikap hawkish The Fed dalam menaikkan FFR secara asertif yang disinyalir akan mencapai puncaknya pada 2023," ungkapnya.

The Fed telah memberikan isyarat bahwa FFR akan dinaikkan menjadi 4,50% pada tahun 2022 dan menjadi 4,75% pada tahun 2023.

Alhasil, hal ini memang memicu aliran modal keluar di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia khususnya di pasar SBN-nya, sehingga memberikan tekanan pada stabilitas nilai tukar rupiah.

"Karena tekanan datang dari sisi eksternal (depresiasi nilai tukar Rupiah) dan dari sisi domestik (tingkat inflasi yang tinggi), kami percaya BI akan lebih agresif menggeser kebijakan moneter longgar dengan menaikkan suku bunga kebijakan untuk memastikan stabilitas," tegasnya.

Bank Mandiri memproyeksi BI akan menaikkan suku bunga hingga 5% pada akhir 2022 dan bergerak menjadi 5,25% pada awal 2023.


5. Senior Ekonom Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Wisnubroto.

Sesuai perkiraan, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps untuk kedua kalinya menjadi 4,75%.

Di sisi lain, Rully melihat BI juga mempertahankan kebijakan makroprudensial yang akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit perbankan dan mendukung pemulihan ekonomi domestik.

Hal tersebut dituangkan dalam perpanjangan insentif down payment atau uang muka kredit kendaraan dan properti mulai 1 Januari 2023 hingga 31 Desember 2023.

Terkait dengan rupiah, Rully yakin dolar AS akan tetap kuat terhadap mata uang-mata uang lainnya di dunia.

Sampai tanggal 19 Oktober 2022, indeks dolar AS (DXY) ditutup pada 112,9. Sementara itu, rupiah per 19 Oktober ditutup pada Rp 15.498, level terlemah terhadap dolar AS sejak April 2020.

Beberapa mata uang ASEAN lainnya juga terus terdepresiasi bulan ini, termasuk Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan Filipina Peso.

Namun, dia menilai di tengah banyaknya tantangan, termasuk volatilitas Rupiah yang tinggi, inflasi, kenaikan suku bunga kebijakan, serta ketidakpastian ekonomi global, ekonomi Indonesia akan tetap melanjutkan pemulihannya.

Dengan demikian hal ini menjadi harapan bagi Indonesia.

"Kami juga memperkirakan Rupiah pada akhir tahun akan terapresiasi dari level saat ini dan berada pada posisi Rp 14.935 atau rata-rata Rp 14.755 pada tahun 2022 terhadap dolar AS," ujarnya.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Siapkan 'Jamu Ampuh' untuk Rupiah hingga Inflasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular