Asing Kabur Tinggalkan RI, Bos BI Buka Suara

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
20 October 2022 07:05
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Acara Press Conference - 4th Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) Meeting. (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Acara Press Conference - 4th Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) Meeting. (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Capital outflow atau aliran modal keluar mewarnai pasar keuangan dalam negeri saat ini. Bank Indonesia (BI) yang menyadari hal ini melakukan sederet kebijakan agar investor masih bertahan dan kembali masuk ke dalam negeri.

"Kami melakukan pembelian dan penjualan SBN, sehingga yield SBN menarik dari investor luar negeri, sehingga tak membebani fiskal dan mendukung fiskal dari pemerintah," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI, Rabu (19/10/2022).

Langkah yang dilakukan BI ini dikenal dengan sebutan twist operation, di mana BI menjual Surat Berharga Negara (SBN) tenor pendek, namun membeli untuk tenor panjang. Dengan begitu yield SBN akan menjadi kompetitif.

"Kita lakukan operasi pasar di SBN untuk memastikan yield SBN menarik dari investor luar negeri, namun tak membenani biaya fiskal dari APBN," kata Perry.

Dari catatan CNBC Indonesia, sejak awal Januari hingga 6 Oktober 2022, dana asing yang kabur dari Indonesia atau keluar dari dalam negeri (outflow) sudah mencapai Rp 167,81 triliun di Pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Adapun, yield SBN 10 tahun meningkat ke level 7,20% pada perdagangan saat itu.

Sementara itu, BI akan mengumumkan hasil rapat dewan gubernur (RDG) hari ini, Kamis (20/10/2022). Konsensus ekonom memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebanyak 50 bps. Dosis kenaikan yang sama seperti bulan September lalu.

Hanif Mantiq, Chief Marketing Officer STAR Asset Management, mengungkapkan situasi outflow memang tidak bisa dihindari. Indonesia sama seperti negara berkembang lainnya yang terimbas arah perubahan moneter oleh negara maju. Salah satunya Amerika Serikat (AS) yang agresif menaikkan suku bunga acuan untuk meredam lonjakan inflasi.

Laju inflasi tahunan AS sudah meningkat lebih dari 2% sejak April 2021 dan terus meningkat hingga 9,06% pada Juni 2022. Laju inflasi Juni merupakan yang tertinggi sejak 1981. Namun pada September 2022, inflasi AS turun hingga 8,3%.

Sementara Bank Sentral AS The Fed sudah menaikkan bunga acuan empat kali selama 2022: Mei 0,5%, serta Juni dan Juli masing-masing 0,75%, serta Agustus 0,75%. Suku bunga acuan (Fed funds rate) saat ini di kisaran 3%-3,25%. The Fed masih akan terus agresif ke depan sampai inflasi jinak.

"Indonesia sangat terpengaruh kebijakan bank sentral lain," kata Hanif dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.

Akibat dari derasnya capital outflow, likuiditas dolar di dalam negeri dalam kondisi menipis.

Bahana Sekuritas melihat tipisnya likuiditas dolar di dalam negeri disebabkan oleh melebarnya gap perbedaan suku bunga acuan.

"Bacaan kami di sini adalah BI telah melakukan intervensi dalam jumlah yang lebih besar selama dua minggu terakhir daripada sebelumnya dalam setahun ini," tulis Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan tim dalam laporannya.

Sementara itu, suku bunga deposito valas semalam yang digunakan BI dalam operasi moneternya telah meningkat.

Namun, Bahana menilai hal ini belum diikuti oleh bank umum yang terkendala dengan tingkat jaminan 0,75% untuk tabungan Valas yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

"Akibatnya, banyak pendapatan ekspor Indonesia disimpan di Bank Singapura, yang menawarkan lebih dari 3% setahun untuk USD yang ditempatkan dalam jangka waktu mereka deposito," ungkap Bahana.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mau Inflasi Rendah? BI: Suku Bunga Harus Naik Lebih Tinggi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular