Investasi 60/40 Bakal Cetak Return Terburuk Dalam 100 Tahun
Jakarta, CNBC Indonesia - Investasi bergaya 60/40 akan mencatatkan tingkat pengembalian (return) terburuk selama satu abad atau 100 tahun pada tahun ini.
Hal ini diutarakan oleh BofA Global Research dalam sebuah risetnya pada Jumat (14/10/2022) pekan lalu, mencatat bahwa pasar obligasi terus mencatat arus keluar (outflow) yang besar.
"2022 (adalah) kisah sederhana tentang guncangan inflasi yang menyebabkan guncangan suku bunga, yang pada gilirannya berpotensi terjadinya resesi dan masalah kredit. Guncangan inflasi juga belum berakhir," kata BofA dalam laporan mingguan "Flows Show", dikutip dari Reuters.
Investasi gaya 60/40 merupakan istilah investasi dengan porsi portofolio 60% kepemilikan di saham dan 40% sisanya dalam aset pendapatan tetap (fixed income), seperti surat utang atau obligasi.
Menggunakan data dari EPFR, BofA mengatakan investor telah menjual obligasi selama delapan minggu berturut-turut, sementara dana ekuitas Eropa telah mengalami arus keluar untuk minggu ke-35 berturut-turut.
BofA mengatakan tingkat return tahunan pada portofolio jenis ini di tahun 2022 menjadi yang terburuk dalam 100 tahun terakhir, sementara pada portofolio "25/25/25/25" yang memiliki porsi 25% di mata uang, komoditas, saham, dan obligasi yang sama telah turun 11,9%, menjadi yang terburuk sejak 2008.
Sementara di ekuitas mencatat ada arus masuk (inflow) sebesar US$ 0,3 miliar dari Senin hingga Rabu pekan lalu, sementara di obligasi mencatatkan outflow besar-besaran US$ 9,8 miliar.
"Ini menjadi minggu keenam berturut-turut investor menjual aset keuangan, arus keluar pertama dari infrastruktur dalam 11 minggu dan minggu ke-18 arus keluar dari pinjaman bank," kata BofA.
Inflasi yang masih panas, kenaikan suku bunga bank sentral, perang Rusia-Ukraina, dan krisis energi telah membuat valuasi turun di seluruh kelas aset pada tahun 2022.
Harapan bahwa inflasi dapat terus melandai pupus setelah data inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen) Amerika Serikat (AS) masih cenderung meninggi pada periode September lalu.
Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan IHK utama AS mencapai ke 8,2% (year-on-year/yoy) pada September lalu.
Laju inflasi memang lebih rendah dibandingkan pada Agustus yang tercatat 8,3% (yoy) tetapi masih di atas ekspektasi pasar yakni 8,1% (yoy).
Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi tercatat 0,4% pada September atau meningkat dibandingkan pada Agustus yang tercatat 0,1%. Inflasi inti menyentuh 6,6 % (yoy) pada September, level tertingginya sejak 1982 atau 40 tahun terakhir.
Dengan inflasi yang masih tinggi, maka pasar berekspektasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih akan bersikap hawkish untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan selanjutnya untuk meredam inflasi.
Mengacu pada FedWatch, sebanyak 96,9% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.
Keagresifan The Fed diprediksi akan membawa perekonomian Negara Adidaya tersebut masuk ke zona resesi dan tentunya akan berdampak pada negara-negara lain di dunia. AS merupakan perekonomian terbesar di dunia.
PDB AS menyumbang 25% dari ekonomi dunia. AS pun memimpin posisi ekonomi tertinggi sejak tahun 1960, bahkan jauh sebelum perang dunia I dan II. Atas dasar itu, AS dikenal sebagai Negara Adidaya Ekonomi.
Dengan demikian, jika negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini tertekan, maka akan bisa dipastikan mengganggu perekonomian global.
Di lain sisi, indikator bull & bear BofA tetap di "max bearish" untuk minggu keempat berturut-turut.
"Antisipasi bahwa inflasi akan turun dan fakta bahwa pada tahun 2023 inflasi akan diharapkan daripada tidak diantisipasi adalah kabar baik," kata BofA.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)