Penjelasan: Mengapa Ekonomi China Melambat dan Dampaknya Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - China adalah mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia dengan kontribusi mencapai 18,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) global pada 2021 yang sebesar USD 96,3 triliun-mengalahkan Amerika Serikat. Ini membuat kesehatan ekonomi negeri Tirai Bambu itu menjadi penting bagi seluruh negara di dunia.
Istilah bahwa "Amerika bersin, dunia akan demam" sudah kurang relevan, seharusnya menjadi "China bersin, dunia akan demam.". Dengan ukuran porsi PDB segitu, tak heran perlambatan ekonominya akan memperlambat perekonomian seluruh negara, termasuk Indonesia.
Perekonomian China sedang gelap, melambat dari 10.6% pada 2010 menjadi 2.3% di 2020 karena Pandemi Covid-19. Melonjak 8,1% pada 2021, tetapi di prediksi melambat lagi menjadi 2.8% pada tahun ini-menurut Bank Dunia. Ini jauh di bawah target pemerintah mereka, 5,5%.
Buatan China 2025
Pada 2015, pemimpin China merilis target ambisius dengan tagline "Buatan China 2025". Ini adalah peralihan strategi arah ekonomi dari orientasi ekspor menjadi orientasi konsumsi dalam negeri. Gagasan Presiden Xi Jinping yang berkuasa 2013 itu bertujuan menjadikan China sebagai pemimpin dunia dalam bidang teknologi, seperti robot, pesawat terbang hingga kendaraan listrik.
Untuk menjalankan strategi ini, perusahaan di China di dorong oleh pemerintahnya untuk berinvestasi di luar negeri guna meningkatkan kemampuan teknologi. Juga mendorong produksi komponen dalam negeri, dan memperkecil kran impor barang teknologi. Startegi baru ini, menjadi alasan utama mengapa perekionomian China perlahan melambat sejak 2010.
Dampak lain dari kebijakan ini juga China mendominasi sektor industri tertentu, dan telah dibuktikan sekarang, bagaimana mereka mulai mendominasi sektor teknologi. Kebijakan ini juga berdampak pada pengetatan investasi asing di negeri China dan terbukti dengan banyaknya batasan invetasi di sana.
Perang Dagang Dengan AS
Perang dagang dengan AS, melalui pembatasan volume dan tariff ekspor dan impor sangat memukul perekonomian China. Perang dagang yang dimulai zaman Presiden Donald Trump pada 2018 itu mengurangi volume perdagangan dari US$635 miliar pada 2017 menjadi US$558 miliar di 2019. Meskipun Trump sudah berganti, bau perang dagang tetap masih ada seperti baru-baru ini dengan rencana Presiden Joe Biden melarang ekspor perangkat pembuat chip canggih ke China, karena takut dijiplak teknologinya.
Krisis Properti di China
Pelemahan sektor properti menjadi momok mengerikan bagi perekonomian China. Ini karena sektor ini dan penunjungnya berkontribusi hingga sepertiga terhadap PDB China. Saat ini, banyak pembeli rumah via Kredit Kepemilikan Rumah tidak mau membayar cicilan sampai dengan rumah selesai di bangun, sehingga mengurangi permintaan impor material barang konstruksi.
Dampak Perlambatan Ekonomi China Ke AS
Perlambatan ekonomi China memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian partner dagang utama mereka, yakni AS. Ia bertransmisi melalui, perdagangan itu sendiri dan pasar utang AS.
Sebagai partner utama, perlambatan ekonomi China akan membuat permintaan ekspor di AS juga melambat, dan sebaliknya. Ini memukul permintaan industri utama AS seperti, pesawat terbang, otomotif, hingga makanan, sehingga menjadikan defisit perdagangan AS semakin besar.
Selain sektor riil, perlambatan ekonomi China juga mempengaruhi pasar obligasi AS, dimana ini mengurangi peluang pemerintah AS untuk dapat menerbitkan utang baru. China adalah investor kedua terbesar pada surat utang pemerintah AS, dimana perlambatan ekonominya membuat kemampuan atau permintaan terhadap surat utang AS juga turun.
Dampak Pelambatan China dan AS ke Indonesia
Pertumbuhan ekonomi AS secara teknikal telah memasuki masa resesi pada kuartal II tahun ini dari tumbuh 5.9% pada 2021, dan minus 2.8% pada 2020. Kombinasi perang Rusia dan Ukraina serta pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian dua raksasa ekonomi dunia ini sakit. Ini menjadi masalah besar, bagi negara seperti Indonesia yang bergantung cukup erat dengan keduanya.
China adalah pasar ekspor utama Indonesia dengan nilai pada September lalu mencapai US6,1 miliar atau 26,23% dari total ekspor non migas. Sementara AS pasar kedua dengan US$2,11 miliar atau 9,01%. Perlambatan ekonomi China, akan sangat berdampak kepada kinerja ekspor Indonesia, karena keduanya adalah sepertiga lebih pasar ekspor Indonesia.
Sementara itu kenaikan tingkat imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS juga akan menambah biaya bunga di Indonesia. Ini karena pasar obligasi dalam negeri selalu mengikuti pergerakan yield di sana, di mana semakin tinggi yield di AS maka semakin tinggi pula yield obligasi di Indonesia.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan dia lebih khawatir dampak perlambatan China dari pada AS, mengingat besarnya keterkaitan ekonomi Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu Ini.
Tetapi dengan fakta kedua negara ini mengalami masalah ekonomi dapat memperberat situasi ekonomi Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mum/mum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article AS di Bibir Jurang Resesi, Ini Dampak Ngerinya Bagi Indonesia
