Inflasi AS Melandai, Gak Jadi Resesi? Ini Jawabannya!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
14 October 2022 16:40
Amerika Serikat
Foto: Amerika Serikat (AP/Andrew Harnik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Angka inflasi Amerika Serikat (AS) pada September 2022 melandai dari bulan sebelumnya. Lantas, apakah perekonomian Negeri Paman Sam tersebut akan terhindar dari resesi?

Pada Kamis (13/10), Biro Tenaga Kerja AS melaporkan angka inflasi per September 2022 yang berada di 8,2% secara tahunan (yoy), melandai dari 8,3% di bulan sebelumnya. Namun, angka inflasi tersebut masih ditopang oleh tingginya harga rumah, makanan, dan perawatan kesehatan.

Harga makanan kini menjadi pemicu utama inflasi. Kini, harga bahan bakar di AS di banderol dengan harga US$ 3,91/galon, melandai dari harga sebelumnya di US$ 5/galon, jika mengacu pada AAA.

Sementara tingkat inflasi inti secara tahunan di AS meningkat menjadi 6,6% pada September 2022 dari 6,3% pada bulan sebelumnya. Posisi tersebut menjadi yang tertinggi sejak 1982. Pada basis bulanan, tidak termasuk energi dan makanan naik 0,6% ketimbang bulan sebelumnya dan berada di atas ekspektasi pasar di 0,5%.

Kenaikan tersebut ditopang oleh harga tempat tinggal, kesehatan, asuransi bermotor, kendaraan baru, perabotan dan Pendidikan yang meningkat. Sebaliknya, harga mobil dan truk bekas, pakaian jadi dan komunikasi menurun.

Asisten Profesor Columbia Business School Yiming Ma mengatakan bahwa berita positifnya inflasi AS per September lebih kecil dari pada bulan sebelumnya, tapi berita buruknya bahwa inflasi AS masih tinggi.

"Di atas kertas, inflasi telah turun. Gajah di dalam ruangan adalah tingkat harga yang masih meningkat pada tingkat yang sangat tinggi," tutur Ma.

"Gambaran besarnya adalah inflasi tinggi di mana-mana. Menurut saya konsumen akan terus merasakannya," tambahnya.

Sementara, International Monetary Fund (IMF) memprediksikan angka inflasi dunia akan kembali naik. Inflasi global diprediksikan akan melesat ke 8,8% pada akhir 2022 dari 4,7% di tahun 2021. Kemudian akan melandai ke 6,5% di 2023 dan berada di 4,1% pada 2024.

Inflasi yang 'mendarah daging' tersebut, tampaknya akan direspon dengan kenaikan suku bunga yang agresif oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Mengacu pada alat ukur FedWatch, sebanyak 99,2% analis memprediksikan bahwa Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps dan akan membawa tingkat suku bunga ke kisaran 3,75%-4%. Sementara 0,8% analis memproyeksikan kenaikan yang lebih besar lagi sebanyak 100 bps.

Padahal, di sepanjang tahun ini The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 300 bps untuk meredam inflasi yang tinggi. Namun, angka inflasi masih berada tinggi di kisaran level 8% hingga pada September 2022.

Inflasi tinggi akan menurunkan daya beli, sementara suku bunga tinggi membuat ekspansi dan belanja konsumen terhambat. Alhasil, resesi pun di depan mata.

Secara teknis, Negeri Star and Stripes sudah masuk ke zona resesi karena pertumbuhan ekonominya terkontraksi selama dua kuartal beruntun. US Bureau of Economic Analysis melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal I-2022, terkontraksi 1,6% (quarter-to-quarter/qtq). Lalu pada kuartal II-2022, ekonomi Negeri Paman Sam kembali terkontraksi 0,9% qtq.

Namun, baik Presiden AS Joe Biden, Menteri Keuangan AS Janet Yellen menolak bahwa perekonomian AS masuk ke resesi. Indikator resesi tidak terpenuhi karena pasar tenaga kerja AS masih tangguh ditandai oleh menurunnya angka pengangguran ke 3,5% dari 3,7%.

Meski begitu, beberapa analis terkemuka dunia memprediksikan bahwa AS dan perekenomian global akan masuk ke zona resesi pada tahun depan.

Teranyar, JPMorgan Chase yang merupakan bank terbesar di AS pada Senin (10/10) memberikan peringatan bahwa dampak inflasi yang tidak terkendali, suku bunga naik lebih dari yang diharapkan, efek pengetatan kuantitatif yang tidak diketahui dan perang Rusia di Ukraina dapat mendorong ekonomi AS dan dunia ke resesi untuk enam hingga sembilan bulan dari saat ini.

"Ini adalah hal-hal yang sangat, sangat serius yang menurut saya kemungkinan akan mendorong AS dan dunia, maksud saya, Eropa sudah dalam resesi, dan mereka kemungkinan akan menempatkan AS dalam semacam resesi enam hingga sembilan bulan dari sekarang," kata CEO JPMorgan Jamie Dimon dikutip CNBC International.

Senada, ekonom Nouriel Roubini juga mengatakan bahwa resesi bisa terjadi di AS pada akhir tahun ini atau sebelum menyebar secara global tahun depan dengan potensi bertahan hingga 2023.

"Ini tidak akan menjadi resesi yang pendek dan dangkal, itu akan menjadi parah, panjang, dan buruk," kata Roubini saat wawancara pada September lalu.

Selanjutnya, IMF juga memperingatkan bahwa sepertiga perekonomian dunia akan mengalami kontraksi pada tahun depan.

"Tiga kawasan dengan perekonomian terbesar yaitu AS, China, dan Eropa akan terus melambat. Yang terburuk belumlah terjadi sekarang ini karena banyak dari warga dunia yang akan merasakan resesi pada 2023," tutur kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas, dalam konferensi pers, Selasa (11/10).

Amerika Serikat merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia, jika Negeri Adi Daya tersebut mengalami resesi, tentunya akan ada efek domino terhadap negara-negara lainnya di dunia.

PDB AS menyumbang 25% dari ekonomi dunia. Amerika Serikat pun memimpin posisi ekonomi tertinggi sejak tahun 1960, bahkan jauh sebelum perang dunia I dan II. Atas dasar itu, Amerika Serikat dikenal sebagai negara adidaya ekonomi.

Dengan demikian, jika negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini tertekan, maka akan bisa dipastikan mengganggu perekonomian global.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Negeri Paman Sam merupakan salah satu mitra dagang Indonesia, bahkan nominalnya cukup besar. Melansir data Kementerian Perdagangan, AS merupakan mitra dagang terbesar kedua untuk eskpor Non-migas setelah Tiongkok, dengan nominal senilai US$ 19,86 miliar atau setara dengan Rp 305 triliun (asumsi kurs Rp 15.360/US$) untuk periode perdagangan Januari-Agustus 2022.

Dari sisi investasi, AS juga memegang peranan penting dalam penanaman modal asing senilai US$ 1,4 miliar atau setara dengan Rp 21,5 triliun pada semester pertama tahun ini. Dengan nominal tersebut, menempatkan AS berada di peringat kelima dengan investasi terbesar di RI.

Selain itu, ketidakpastian ekonomi akibat potensi resesi global juga membuat investor asing kabur dari negara-negara emerging termasuk Indonesia. Investor akan beralih pada aset safe haven yang memiliki nilai lindung seperti dolar AS. Alhasil, rupiah pun terpuruk.

Di sepanjang tahun ini, Mata Uang Garuda telah terkoreksi sebanyak 7,2% terhadap dolar AS. Bahkan pada Jumat (14/10), rupiah kian mendekati level Rp 15.400/US$.

Pelemahan nilai tukar rupiah tentunya membebani perusahaan dan masyarakat karena barang impor menjadi lebih mahal. Pada industri farmasi, diketahui Indonesia masih mengimpor hampir 90% bahan baku dari luar negeri. Begitu pula dengan industri otomotif, rata-rata bahan baku sparepart seperti semikonduktor masih bergantung pada negara-negara lain seperti Jepang dan China.

Di sisi lain, perlambatan ekonomi global juga akan membuat perusahaan berorientasi ekspor terdampak karena permintaan dari negara lain mengendur. Perlambatan permintaan dari sisi konsumen dan produsen ini akan membuat investasi perusahaan melambat.

Tidak hanya sektor usaha yang kena, investasi masyarakat di properti juga diproyeksi menyusut mengingat masyarakat akan lebih memilih menabung di tengah ketidakpastian ekonomi. Kenaikan suku bunga juga akan membuat investasi di sektor properti kurang menarik.

Namun, mantan keuangan M.Chatib Basri masih optimis bahwa ekonomi Indonesia tidak akan terperosok hingga membukukan pertumbuhan negatif. Dia meyakini bahwa PDB RI masih akan tetap tumbuh, meski melambat.

"Jadi, misalnya konsumsi growth-nya 5 koma sekian jadi 4 koma. Itu mirip waktu sama tapering-lah," ujar Chatib dalam dialog bersama CNBC Indonesia, dikutip Senin (10/10/2022).

"Waktu taper tantrum kita masih bisa tumbuh 5,8% lho, turun dari 6,5%. Jadi, akan ada slowdown," tambahnya.

Dengan demikian, Chatib percaya ekonomi Indonesia tidak akan sampai krisis ataupun resesi.

"Trennya itu slowdown. Kalau orang beranggapan ada ekonom kita akan krisis, saya mungkin gak beranggapan akan begitu. Tapi slowdown akan iya," tegasnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular