Bukti Dunia Kacau Balau, Cadev RI Anjlok Terendah 2 Tahun
Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa Indonesia anjlok pada September lalu hingga menyentuh level terendah dalam lebih dari 2 tahun terakhir. Padahal, neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus hingga 28 bulan beruntun.
Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2022 mencapai US$ 130,8 miliar. Realisasi ini anjlok US$ 1,4 miliar dibandingkan posisi Agustus 2022 yang sebesar US$ 132,2 miliar.
"Penurunan posisi cadangan devisa pada September 2022 antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," tulis BI dalam siaran pers, Jumat (7/10/2022).
Cadangan devisa tersebut menjadi yang terendah sejak Mei 2020.
Seperti disebutkan, kebutuhan stabilitas nilai tukar membuat cadangan devisa menurun, artinya BI banyak melakukan intervensi.
Nilai tukar rupiah memang mengalami tekanan yang besar akibat kondisi perkekonomian dunia yang kacau balau.
Untuk pertama kalinya sejak April 2020, rupiah kembali menembus Rp 15.000/US$ bulan lalu. Sepanjang September, rupiah melemah 2,6%, menjadi pelemahan bulanan terbesar sejak Maret 2020 atau saat awal pendemi Covid-19, ketika rupiah terpuruk hingga 13,7%.
Padahal, September lalu BI menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,25%. Tetapi masih belum cukup membuat rupiah menguat.
Inflasi tinggi yang memicu dunia resesi tahun depan hingga ada risiko stagflasi. Bank Dunia juga sudah mengutarakan dunia akan mengalami resesi.
"Tiga ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa- telah melambat tajam," tulisnya dalam sebuah studi baru, dikutip Jumat (16/9/2022).
Bank Dunia yakin pukulan moderat sekalipun akan memicu resesi global. Bank Dunia pun memperkirakan kenaikan suku bunga akan terus dilakukan hingga tahun depan. Namun, langkah ini tak akan cukup mampu membawa inflasi kembali ke tingkat sebelum pandemi Covid-19.
Lembaga internasional ini pun mengatakan bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan 2 poin persentase untuk meredam inflasi.
Tambahan dosis suku bunga tersebut berada di atas kenaikan 2 poin yang sudah terlihat di atas rata-rata tahun 2021.
Bank Dunia mengingatkan bahwa dosis lebih tinggi ini dapat memperlambat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global. Pada 2023, PDB dunia diperkirakan bisa susut menjadi 0,5% setelah terkontraksi 0,4%.
Menurut Bank Dunia, ini akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Neraca Dagang Surplus 28 Bulan, Duitnya Ke Mana?
(pap/pap)