Sst...Ini 'Faktor X' yang Bikin Rupiah Terbaik Se-Asia

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
06 October 2022 15:25
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah memang sedang tertekan akibat fenomena 'strong dollar', tetapi kondisi pelemahan mata uang Garuda masih jauh lebih baik ketimbang mata uang utama Asia lainnya.

Sepanjang tahun ini, dari data Refinitiv per 30 September 2022, rupiah tercatat melemah 6,84%, hanya sedikit lebih besar dari dolar Singapura yang melemah 6,37%. Sementara mata uang lainnya rontok, baht Thailand anjlok 13,84% dan dolar Taiwan 14,65%. Kemudian won Korea turun 20,82% terhadap dolar AS dan Jepang yang mencapai 25,55%.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi ikut berkomentar soal pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini.

Menurutnya, situasi yang terjadi saat ini dipengaruhi oleh global yang semakin memburuk setelah kebijakan bank sentral AS menaikkan suku bunga acuan hingga 300 basis points (bps) hingga September tahun ini.

"Kita tahu hampir semua negara melemah, terkontraksi ekonominya. Tiap hari yang kita dengar krisis energi, minyak, gas, hampir semua negara. Financial, currency yang melompat-lompat," jelasnya dalam acara UOB Economic Outlook, dikutip Kamis (6/10/2022)

"Kita tau kalau dilihat angkanya kita masih baik nilai tukar rupiah kita," terang Jokowi.

Ekonom Senior Chatib Basri mengungkapkan bahwa masih bagusnya kinerja rupiah salah satunya ditopang oleh kuatnya posisi investor dalam negeri di dalam share kepemilikan surat utang negara (SUN).

Alhasil, posisi kepemilikan asing berkurang tajam. Bahkan, Chatib mengungkapkan kepemilikan investor asing saat ini hanya sebesar 14,6%. Jauh dibandingkan posisinya pada 2013, sebesar 38%.

Dengan demikian, guncangan terhadap nilai tukar tidak besar ketika investor berbondong-bondong menarik investasinya.

"Kalau dulu 38% pulang (capital outflow), dampak ke rupiahnya signifikan. Sekarang yang pulang 14,6%. Ini yang jelasin rupiah kita relatif stabil," tegasnya.

Kendati demikian, Chatib merisaukan kondisi cadangan devisa yang menurutnya tidak mengambarkan posisi neraca perdagangan Indonesia yang surplus.

"Neraca perdagangan kita surplusnya tercatat, tapi duitnya enggak di sini. Kenapa saya bilang begini, lihat di foreign reserve, surplus besar tapi masa foreign reserve-nya stagnan," ujarnya.

"Itu bisa dilihat, dan DPK valas enggak naik, duitnya kemana? Mungkin karena sistem DHE-nya begitu ekspor catatin di sini dan taruh luar lagi karena risiko exchange rate," sambung Chatib.

Dari data Bank Indonesia (BI), posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2021 tercatat sebesar US$ 146,9 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Agustus 2021 sebesar US$144,8 miliar.

Sementara itu, data BPS menunjukkan neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Agustus 2022 secara keseluruhan mencatat surplus US$ 34,92 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun 2021 sebesar US$ 20,71 miliar.

Bulan lalu, BI telah memberlakukan sanksi untuk eksportir yang tidak menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri, setelah sebelumnya kewajiban ini direlaksasi selama pandemi Covid-19.

Adapun, untuk pelanggaran ketentuan DHE non-SDA, sanksinya berupa penangguhan ekspor dan sanksi pelanggaran untuk DHE SDA yakni berupa penyampaian hasil pengawasan oleh BI.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cegah Kiamat Dolar, Pemerintah & BI Siap Tertibkan Eksportir

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular