Pak Jokowi, Alkes Impor Rp40 T, Bahan Obat Bergantung China

Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
06 October 2022 09:05
Digempur Pemain Asing, Pelaku Industri Kesehatan Punya Harapan Besar Pasca Pandemi
Foto: ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor kesehatan Indonesia masih benar-benar memiliki ketergantungan besar terhadap produk asing, baik penyediaan alat kesehatan (alkes), maupun ketersediaan bahan baku untuk obat-obatan. Hal ini terungkap dalam Industrial Talk Universitas Prasetiya Mulya, kemarin, yang dihadiri oleh pemain penting di industri ini.

Ketergantungan alkes ini diungkapkan oleh Sekjen Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI), Cristina Sandjaja. "Impor kita untuk alkes mencapai 40 triliun. Namun industri alkes bisa ekspor Rp 16 triliun, jadi defisit 23 triliun. Impor lebih besar dari ekspor," ujar dia.

Ketergantungan ini begitu parah, bukan hanya untuk alkes canggih seperti robot untuk bedah pasien, melainkan juga termasuk alat medis yang remeh temeh seperti masker, hand sanitizer, dan alat tes PCR. Ini karena produksi industri alkes lokal memang kalah jumlah dari gempuran barang impor.

Bayangkan saja, produsen yang memproduksi alkes di negeri ini hanya berjumlah 727 pabrik, dengan 4.265 distributor alat kesehatan. Izin produk lokal pun baru mencapai 11.734. Angka ini jauh lebih kecil dari 52.721 izin produk impor.

Alhasil, pasar alkes Indonesia tidak bisa berbuat banyak, hanya menguasai 0,7% dari pasar global, kalah jauh dari Amerika Serikat yang menguasai 38,2%, kemudian China yang menguasai 19,9%, hingga India 2,16%.

Cristina mengungkapkan sudah ada teguran dari Presiden Jokowi untuk membenahi ketergantungan ini. "Arahan Presiden tersebut menyadarkan banyak pihak untuk menggenjot produksi alkes dalam negeri," kata dia.

Arahan Doang, Tanpa Keberpihakan

Data dari Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) juga mengungkapkan hal menarik. Pada dasarnya mayoritas pasar farmasi dikuasai anak bangsa, dengan angka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 75% pasar farmasi Indonesia, sisanya Penanaman Modal Asing (PMA). Ini berkebalikan, dengan misalnya Filipina di mana PMDN berkisar di angka 25% sementara PMA mencapai 75%.

Meski modal sudah kuat, tetapi lain halnya dengan sumber bahan baku. Untuk memproduksi obat di dalam negeri, pabrikan masih harus mencari sumber bahan baku dari negara lain, utamanya China.

"Farmasi dibuat di Indonesia tapi 95% bahan baku masih impor. Jadi kejadian waktu pandemi, China, India lockdown kita kesulitan, butuh perjuangan luar biasa. Saya juga datang sendiri ke sana untuk mencari Chloroquine, biasanya pengiriman India ke Indonesia cuma beberapa hari, kemarin harus melewati beberapa negara jadi lebih lama," kata Direktur Utama PT Dexa Medica Herry Sutanto.

Ketika sudah dalam bentuk produk jadi, nyatanya produk obat-obatan Indonesia bisa bersaing dengan obat dari luar negeri. Herry mengungkapkan, Dexa sudah mengekspor produk seperti Stimuno ke berbagai negara, mulai dari Asia Tenggara seperti Kamboja-Filipina, negara Afrika seperti Nigeria hingga benua Eropa.

Sementara itu, Dekan Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya, Fathony Rahman, menyoroti minimnya anggaran kesehatan tahun 2023, yang hanya mencapai 5,9% dari total RAPBN atau Rp731.266 per orang/tahun. Padahal WHO menetapkan standar anggaran kesehatan sebesar 15% dari APBN.

Dengan bonus demografi yang besar, seharusnya pemerintah dan pelaku industri perlu mewaspadai bahwa Indonesia harus diisi masyarakat yang sehat. "Jika penduduk berusia produktif yang besar ini penyakitan dan banyak mengalami stunting, misalnya, maka Indonesia tidak bisa bersaing dengan negara-negara lain," ujarnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mum/mum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Argon Group Rambah Bisnis Manufaktur, Produksi Alkes di RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular