Saham & Emas Kompak Meroket! Saatnya Taruh Duit Di Sana?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 October 2022 15:35
Emas batangan
Foto: Zlaťáky.cz/Pexels

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi berjamaah di tahun depan membuat para investor kebingungan kemana mengalirkan investasinya. Bursa saham global jeblok, emas juga menyusul. Padahal keduanya merupakan aset yang bertolak belakang, saham merupakan aset berisiko sebaliknya emas merupakan aset safe haven.

Dalam kondisi yang tidak biasa seperti saat ini, keduanya malah bergerak searah. Kabar baiknya, di pekan ini keduanya kompak melesat, emas bahkan sudah lebih dulu mulai menanjak.

Indeks S&P 500 dalam dua hari perdagangan melesat 5,7%. Kenaikan kiblat bursa saham dunia tersebut turut mengerek bursa saham lainnya, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang naik sejak Selasa kemarin.

Sementara itu harga emas dunia melesat sekitar dari 4% dalam dua hari terakhir. Logam mulia ini bahkan sudah mulai naik sejak Rabu pekan lalu, total kenaikannya sebesar 6,5%.

Apakah ini artinya para investor mulai masuk kembali ke saham dan emas?

Sepertinya masih terlalu dini jika menyebut pelaku pasar mulai optimistis lagi. Kenaikan bursa saham global dan emas saat ini dipicu penurunan yield obligasi Amerika Serikat (AS) atau Treasury serta indeks dolar AS.

Melansir data Refinitiv, yield Treasury tenor 10 tahun kini berada di kisaran 3,63%, setelah pekan lalu menyentuh 4%.

Sementara itu indeks dolar AS jeblok hingga 1,5% ke 110.06 kemarin. Dalam 5 hari perdagangan merosot sebanyak 4 kali dengan total 3,5%.

Penurunan keduanya terkait ekspektasi atau pandangan suku bunga The Fed (bank sentral AS).

"Kita melihat penurunan ekspektasi kenaikan suku bunga di seluruh pasar finansial setelah bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) menaikkan suku bunga 25 basis poin, lebih rendah dari ekspektasi 50 basis poin," kata Karl Schamotta, kepala strategi pasar di Corpay Toronto, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (4/10/2022).

Ed Yardeni, veteran pemain pasar, memperkirakan The Fed hanya akan menakkan suku bunga satu kali lagi, pada November. Setelahnya, bank sentral pimpinan Jerome Powell ini akan menghentikan periode kenaikan suku bunga akibat dolar AS yang terlalu perkasa.

"Saya rasa The Fed merusak sesuatu. Apa yang rusak adalah dolar AS karena terlalu kuat. Melesatnya dolar AS dikaitkan dengan krisis finansial global. Kita harus memiliki pandangan global dalam hal ini, kebijakan moneter yang ketat di AS memiliki dampak yang luar biasa ke seluruh dunia, terutama di negara berkembang," kata Yardani, sebagaimana dikutip Reuters, Selasa (4/9/2022). 

Kebijakan moneter The Fed yang terlalu ketat akan mengacaukan stabilitas finansial, dan para pejabatnya dikatakan harus menyadari hal tersebut.

"Saya pikir mereka akan menaikkan suku bunga sekali lagi di bulan November, sebab stabilitas finansial akan menjadi perhatian mereka," ujar Yardani.
Yardani juga mengatakan wakil ketua The Fed, Lael Brainard pada Jumat pekan lalu mengindikasikan ia sangat memperhatikan kondisi stabilitas finanansial saat ini.

Jika benar suku bunga hanya akan dinaikkan sekali lagi saja, maka tentunya itu bisa menjadi kabar baik. Para investor berpeluang mengalirkan kembali modalnya ke aset-aset berisiko, emas pun tak menutup kemungkinan terus menanjak.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Awas Ketidakpastian Masih Tinggi

Kondisi dunia sebenarnya masih belum membaik. Ketidakpastian masih sangat tinggi, sejalan dengan tingginya inflasi di berbagai negara. Risiko resesi bahkan stagflasi juga masih besar, sehingga pasar finansial masih akan volatil ke depannya.

Bank Dunia sudah mengutarakan hal tersebut.

"Tiga ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa- telah melambat tajam," tulisnya dalam sebuah studi baru, dikutip Jumat (16/9/2022).

Bank Dunia yakin pukulan moderat sekalipun akan memicu resesi global. Bank Dunia pun memperkirakan kenaikan suku bunga akan terus dilakukan hingga tahun depan. Namun, langkah ini tak akan cukup mampu membawa inflasi kembali ke tingkat sebelum pandemi Covid-19.

Lembaga internasional ini pun mengatakan bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan 2 poin persentase untuk meredam inflasi.

Tambahan dosis suku bunga tersebut berada di atas kenaikan 2 poin yang sudah terlihat di atas rata-rata tahun 2021.

Bank Dunia mengingatkan bahwa dosis lebih tinggi ini dapat memperlambat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global. Pada 2023, PDB dunia diperkirakan bisa susut menjadi 0,5% setelah terkontraksi 0,4%.

Menurut Bank Dunia, ini akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.

Jika inflasi tidak juga turun, maka stagflasi yang akan terjadi, dan ini lebih buruk ketimbang resesi.

Tidak seperti resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka.

Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an di Amerika Serikat (AS), dan belum lagi pernah terjadi. Saat ini pun baru sebatas risiko stagflasi.

Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.

Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah.

Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau 'mati pelan-pelan'.

Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya biasanya berkebalikan.

Stagflasi lebih sulit 'disembuhkan' ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja. Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.

Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular