Badai Besar Segera Datang, Utang RI Bakal Aman Nih?
Jakarta, CNBC Indonesia - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi sasaran badai besar resesi yang diramal terjadi pada 2023. Khususnya terkait komponen utang.
Hal ini disadari oleh Luky Alfirman, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Di sampaikan kepada CNBC Indonesia saat wawancara khusus dalam program Power Lunch, Jumat (30/9/2022)
"Kini dunia dihadapkan pada situasi ketidakpastian yang sangat tinggi," kata Luky.
Badai besar ini ditandai dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada banyak negara, khususnya negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, Inggris dan lainnya. Akibat lonjakan harga energi dan pangan pasca meletusnya perang Rusia dan Ukraina.
Situasi tersebut direspons dengan kenaikan suku bunga acuan. AS salah satu yang terdepan dalam perubahan kebijakan moneter. Agresivitasnya dalam kenaikan suku bunga acuan mendorong gejolak pada pasar keuangan global.
Baru saja The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps). Kini suku bunga acuan AS yaitu Federal Fund Rates (FFR) berada di 3,25%. Ini belum berakhir, Komite Pengambil Kebijakan (FOMC) dalam proyeksinya, menyebutkan FFR bisa sampai 4,4% akhir tahun ini.
"Investor global akhirnya mereka bermain aman. Mereka gak tahu apakah akan terjadi katakanlah di AS, Eropa dan negara berkembang mereka gak tahu, mereka wait and see," paparnya. Apalagi sumber masalah inflasi, yaitu Perang Rusia dan Ukraina belum diketahui kapan akan berakhir.
Dana Asing Kabur
Situasi yang timbul sekarang adalah aliran modal keluar alias outflow dari negara berkembang. Indonesia, dalam catatan Bank Indonesia (BI) hingga 22 September kehilangan Rp 148,11 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN). "Tapi ini terjadi di semua negara berkembang, tak cuma Indonesia," jelasnya.
Luky menuturkan, outflow sudah terjadi sejak 2020 silam. Sehingga dana yang keluar saat ini tidak berdampak signifikan terhadap nilai tukar. Pada 2019, posi asing pada kepemilikan SBN mencapai 38%, kini hanya 14,8%.
"Harusnya ini positif karena SBN dimiliki oleh investor domestik kita jauh lebih resilience. Kalau dulu market langsung goyang," tegas Luky.
Yield Naik
Dampak gejolak ini juga mengakibatkan kenaikan pada yield SBN. Dalam catatan Kemenkeu yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara kini sebesar 7,393%. Menurut Luky, kenaikan yield sebesar 14% (ytd) masih tidak seburuk negara tetangga seperti Malaysia 20% dan Thailand 61%.
Bahkan untuk AS, kenaikannya mencapai 126%. yield Treasury berjangka menengah yang juga menjadi benchmark obligasi pemerintah Negeri Paman Sam, yakni Treasury berjatuh tempo 10 tahun kini 3,838%, tertinggi sejak Juli 2008 silam.
Ini juga yang menjadi alasan pemerintah sangat berhati-hati dalam menerbitkan surat utang. Langkah terburu-buru akan membuat beban pembayaran utang membengkak di kemudian hari.
"Jadi secara rencana kita melakukan pengurangan penerbitan SUN tersebut." Beruntung penerimaan negara sejauh ini amat bagus, sehingga kas negara masih surplus dan cukup memenuhi belanja ke depan.
Tekanan Utang Valas
Dolar AS kini bertengger di level Rp 15.200, jauh lebih lemah dari yang diperkirakan pemerintah. Pelemahan rupiah juga merupakan imbas dari badai besar tersebut. Risikonya adalah tekanan pada utang pemerintah dalam bentuk valuta asing (valas) semakin berat.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan utang pemerintah hingga akhir Agustus 2022 Rp7.236,61 triliun. Lebih tinggi dari posisi utang bulan lalu Rp 7.163,12 triliun atau bertambah Rp 73,49 triliun .
Secara lebih rinci, utang pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yang mencapai 88,79% dari seluruh komposisi utang akhir Agustus 2022. Sementara berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh mata uang domestik (Rupiah), yaitu 71,06%.
"Utang valas kita yang tadinya ada di atas 40% sekarang di 28% dalam valas. Ini jelas mengurangi tekanan," pungkasnya.
(mij/mij)