
Duh! Rupiah Catat Kinerja Bulanan Terburuk Sejak Awal Pandemi

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (30/9/2022). Meski demikian, pada September rupiah mencatat kinerja bulanan terburuk dalam 2,5 tahun terakhir.
Melansir data Refinitiv, rupiah langsung melesat 0,72% di awal perdagangan hari ini. Setelahnya, penguatan terus terpangkas hingga mengakhiri perdagangan di Rp 15.225/US$, menguat 0,23% di pasar spot.
Sepanjang bulan ini, rupiah tercatat masih melemah 2,6%, dan menjadi yang terbesar sejak Maret 2020 yang anjlok hingga 13,7% saat awal pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Bank sentral AS (The Fed) yang sangat agresif dalam menaikkan suku bunga membuat rupiah terpuruk bulan ini.
Pada Kamis (22/9/2022) lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3% - 3,25%, serta menegaskan sikap agresifnya. Hal ini membuat indeks dolar AS melesat sekaligus juga menekan emas.
Suku bunga The Fed kini berada di level tertinggi sejak awal 2008.
"FOMC (Federal Open Market Committee) sangat bertekad untuk menurunkan inflasi menjadi 2%, dan kami akan terus melakukannya sampai pekerjaan selesai," kata ketua The Fed, Jerome Powell, sebagaimana dilansir CNBC International.
The Fed kini melihat suku bunga akan mencapai 4,6% (kisaran 4,5% - 4,75%) di tahun depan. Artinya, masih akan ada kenaikan 150 basis poin dari level saat ini.
Bahkan, beberapa pejabat The Fed melihat suku bunga berada di kisaran 4,75 - 5% di 2023, sebelum mulai turun di 2024.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) sekali lagi mengejutkan pasar dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin.
Padahal, konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia mayoritas memperkirakan kenaikan sebesar 25 basis poin.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 21-22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,5%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (22/9/2022).
Meksi demikian, kenaikan suku bunga acuan secara agresif seperti yang terjadi di banyak negara, tidak akan dilakukan. Hal ini melihat situasi Indonesia yang berbeda.
"Kenaikan suku bunga agresif tidak diperlukan di Indonesia," ungkap Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur, Kamis (22/9/2022).
Proyeksi kebijakan tersebut membuat rupiah sulit menguat, sebab selisih imbal hasil obligasi AS dan Indonesia akan semakin menyempit, sehingga berisiko memicu capital outflow.
Selain itu, isu resesi dunia 2023 membuat dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi primadona.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
