
Stagflasi Bikin Negara 'Mati Pelan-Pelan', Siapa Bakal Kena?
![[THUMB] Resesi](https://awsimages.detik.net.id/visual/2019/08/15/27dbf9fa-58eb-4577-ba99-c378eacea466_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Selain resesi, stagflasi juga menghantui perekonomian dunia saat ini. Tidak seperti resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka.
Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an, dan belum lagi pernah terjadi. Saat ini pun baru sebatas risiko stagflasi.
Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.
Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah.
Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau 'mati pelan-pelan'.
Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya biasanya berkebalikan.
Ketika resesi misalnya, tingkat pengangguran akan tinggi tetapi inflasi rendah. Sebab, ketika banyak warga yang menganggur maka konsumsi rumah tangga akan menurun, demand pull inflation pun rendah.
Pasar tenaga kerja saat ini masih terlihat kuat, bahkan di beberapa negara seperti Australia justru mengalami kelangkaan tenaga kerja.
Stagflasi lebih sulit 'disembuhkan' ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja. Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.
Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.
Yang menarik, 'obat' stagflasi yang paling mujarab adalah resesi.
"Satu-satunya obat untuk stagflasi adalah resesi," kata David Wilcox, ekonom senior di Perterson Institute for International Economics, sebagimana dilansir The Washington Post, awal Juni lalu.
Ketika resesi terjadi demand juga akan melambat dan perlahan-lahan menurunkan inflasi.
Negara-negara Barat kini menjadi yang paling berisiko mengalami stagflasi. Inflasi di Amerika Serikat (AS) dan Ingggris berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Di zona euro, yang terdiri dari 19 negara, inflasi bahkan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa.
Inflasi yang tinggi juga melanda belahan bumi lainnya. Australia misalnya, kemudian Singapura.
Di Indonesia sejauh ini inflasi mulai merangkak naik meski bisa dikatakan masih terkendali. Setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, maka inflasi akan menanjak.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi memperkirakan inflasi September akan menembus 1,20% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm).
Jika ramalan ini benar maka ini akan menjadi inflasi tertinggi sejak Desember 2014.
Hasil polling juga memperkirakan inflasi secara tahunan (year on year/yoy) akan menembus 5,98% atau tertinggi sejak Oktober 2015 atau tujuh tahun terakhir.
Inflasi di Indonesia memang sedang menanjak, tetapi risiko mengalami stagflasi cukup kecil, sebab pertumbuhan ekonomi masih bertumbuh lumayan tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Amerika & Sekutu Kalah Telak! Rusia Sukses Kendalikan Inflasi
